Sebagai salah satu kekayaan hayati Indonesia, tanaman
kecipir hampir tak terberdayakan bahkan hampir terlupakan di masyarakat. Hal
ini disebabkan tanaman ini tidak dibudidayakan secara luas dan masih dilakukan secara
tradisional. Pada umumnya kecipir ditanam sebagai tanaman pekarangan dan
pemanfaatannya sebatas pada konsumsi rumah tangga. Di beberapa negara seperti
Thailand, Srilanka, Malaysia, dan Philipina, kecipir dijual secara luas di
pasar kecil sampai supermarket, tetapi budidaya di daerah tersebut juga belum
dilakukan secara intensif.
Tanaman kecipir tumbuh merambat sehingga memerlukan
bantuan penopang dalam penanamannya. Akarnya berupa akar tunggang dengan akar
lateral yang panjang dan menebal serta mampu membentuk umbi. Karakter perakaran
tersebut menyebabkan tanaman kecipir dapat beradaptasi dengan baik pada berbagai
kondisi lingkungan dan tanah, serta dapat bertahan dan tumbuh dengan baik di
lingkungan kering.
Semua
bagian tanaman kecipir, kecuali batang, dapat dikonsumsi yaitu daun, bunga,
polong muda, biji baik biji segar maupun kering dan umbi. Oleh karena itu,
kalangan ilmuwan menyebut tanaman ini sebagai supermarket on the stalk. Pemanfaatan polong muda sebagai sayuran
banyak dijumpai di Asia Tenggara, sedangkan masyarakat di dataran tinggi Papua
New Guinea mengkonsumsi umbi, daun muda dan bunga kecipir.
Masyarakat
juga memanfaatkan bagian-bagian tanaman kecipir sebagai bahan obat tradisional,
misalnya untuk penambah nafsu makan, obat radang telinga, obat bisul, dan
lain-lain. Beberapa manfaat lain dari kecipir ialah menyuburkan tanah karena
kemampuannya mengikat nitrogen bebas dari udara, sebagai pakan ternak, tanaman
penutup tanah dan dapat ditumpangsarikan dengan tanaman kehutanan.
Sebagai
supermarket on the stalk, kecipir
merupakan sumber protein yang baik. Kandungan protein pada bunga 2,8-5,6; daun
5-7,6; polong muda 1,9-4,3; biji segar 4,6-10,7; biji kering 29,8-39 dan umbi
3-15, masing - masing
dihitung sebagai gram per 100 gram bobot segar (Anonim 1981).
Tingginya
kandungan protein pada semua bagian tanaman kecipir mungkin berhubungan dengan
kemampuan akar tanaman ini untuk mengikat nitrogen dari udara bebas. Selain
protein yang tinggi, pucuk muda (daun muda) yang dimanfaatkan sebagai sayuran
daun juga mempunyai kandungan vitamin A sebesar 20.000 international units per
100 gram bagian (Anonim 1981 dan Herath 1993). Melihat kandungan protein dan
vitamin A yang tinggi tersebut, tanaman kecipir sangat cocok untuk dikembangkan
lebih serius di negara-negara berkembang seperti Indonesia, untuk memenuhi
asupan nutrisi melalui penganekaragaman makanan baik bahan maupun penyajiannya.
Minyak
biji kecipir kaya akan tokoferol (vitamin E) yang berfungsi sebagai
antioksidan. Biasanya minyak biji kecipir diekstrak dari biji kecipir yang
sudah tua. Tokoferol dapat mengkatalisis vitamin A dalam tubuh. Beberapa
vitamin lain yang terdapat pada kecipir, ialah thiamin, riboflavin, niasin, dan
asam askorbat.
Selain
itu, kecipir juga mengandung mineral-mineral penting seperti kalsium, zink,
sodium, potasium, magnesium, fosfor, dan besi. Zat besi penting untuk pembentukan hemoglobin darah. lbu hamil
dan menyusui disarankan mengkonsumsi kacang-kacangan seperti kecipir, untuk
mencegah anemia akibat kekurangan zat besi. Adapun kandungan fosfor yang tinggi
pada kecipir kurang dapat digunakan sebagai sumber mineral karena sebagian
besar terdapat dalam bentuk terikat bersama asam fitat. Ikatan mineral dan
fitat membentuk garam yang sukar dicerna dan diserap oleh usus. Akan tetapi hal
ini dapat diatasi dengan fermentasi. Proses fermentasi pada pembuatan tempe
mampu melepaskan ikatan fosfor dengan fitat. Jamur pada pembuatan tempe
menghasilkan enzim fitase, yang mampu memecah fitat, sehingga fosfor terlepas
sehingga dapat digunakan tubuh.
Keunggulan
lain ialah kecipir adalah mengandung asam behenat yaitu asam lemak yang tidak
diserap usus sehingga tidak menyebabkan kegemukan bila dikonsumsi dalam jumlah
banyak oleh manusia. Biji kecipir memiliki kandungan protein, minyak/lemak dan
komposisi asam amino yang sangat mirip dengan kedelai. Pada lingkungan tropik
yang lembab, kedelai sulit dibudidayakan dengan baik. Oleh sebab itu, kecipir
dapat menjadi alternatif yang potensial untuk dibudidayakan di Indonesia
dibandingkan dengan kedelai.
Walaupun disebutkan bahwa Indonesia merupakan salah satu
pusat keragaman kecipir, keberadaan kecipir lokal saat ini semakin terancam.
Beberapa faktor yang mempercepat hilangnya kecipir lokal ini ialah:
-
Rendahnya
tingkat konsumsi kecipir oleh masyarakat
- Belum
luasnya sosialisasi manfaat kecipir baik sebagai sayuran maupun obat oleh
lembaga dan institusi terkait di tingkat masyarakat
- Bergesernya
pola konsumsi masyarakat dari sayuran lokal tradisional ke sayuran introduksi
- Berkurangnya
lahan dan pekarangan yang biasa ditanami kecipir karena beralih fungsi menjadi
pemukiman maupun usaha lain
-
Penggantian
tanaman kecipir dengan jenis tanaman lain yang menurut masyarakat lebih
bernilai ekonomis
Oleh : Zuni Fitriyantini, S.TP.
Sumber : http://balitsa.litbang.pertanian.go.id/ind/images/Iptek%20Sayuran/01.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar