Kamis, 25 April 2024

PENGENDALIAN BULAI PADA TANAMAN JAGUNG

                                          

            Jagung sebagai salah satu makanan pokok pengganti beras adalah komoditas strategis di Indonesia. Kebutuhan jagung sebagai pemenuh bahan pangan dan pakan terus meningkat. Apalagi dengan semakin berkembangnya peternakan ayam baik pedaging maupun petelur yang sampai ke pelosok negeri menjadikan jagung sebagai komoditas yang sangat dicari.

Saat ini produksi jagung dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan domestik karena permintaannya semakin meningkat. Dengan berkembang pesatnya industri peternakan, jagung merupakan komponen utama (60%) dalam ransum pakan. Diperkirakan lebih dari 55% kebutuhan jagung dalam negeri digunakan untuk pakan, sedangkan untuk konsumsi pangan hanya sekitar 30%, dan sisanya untuk kebutuhan industri lainnya dan benih. Dengan demikian, peran jagung sebetulnya sudah berubah lebih sebagai bahan baku industri dibanding sebagai bahan pangan.

Upaya peningkatan produksi jagung terkadang mengalami kendala biotik dan abiotik. Kendala abiotik meliputi kekeringan, kekurangan unsur hara, kemarau dan lain sebagainya. Sementara kendala abiotik berupa serangan organisme pengganggu tanaman (OPT). OPT berasal dari 3 golongan yakni patogen, hama, dan gulma. Ketiga OPT tersebut berasosiasi di pertanaman sehingga pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang dibudidayakan menjadi terhambat bahkan beberapa jenis OPT dapat mengakibatkan pertanaman menjadi gagal panen. Kondisi tersebut terjadi saat lingkungan mendukung perkembangan OPT tanaman, sementara varietas tanaman yang di tanaman merupakan varietas rentan. Beberapa spesies OPT baik hama maupun patogen menjadi OPT penting pada suatu jenis tanaman, salah satunya ialah Oomycetes Peronosclerospora spp. penyebab penyakit bulai pada tanaman jagung.

Peronosclerospora spp. menyerang tanaman jagung yang masih muda dengan gejala lokal dan sistemik sehingga terkadang tanaman tidak bisa menghasilkan tongkol (Semangun 1993). Patogen ini menyebar luas di wilayah tropis dan subtropis yang mengembangkan tanaman jagung. Penyakit bulai masih mendominasi penyebab kegagalan panen pada pertanaman jagung. Penyakit bulai yang sudah mewabah akan menyebabkan kehilangan hasil minimal 30 % bahkan tanaman tidak akan menghasilkan sama sekali.

Penyakit bulai menjadi bumerang bagi petani jagung di seluruh wilayah pengembangan jagung nasional. Beberapa daerah di Indonesia telah dilaporkan endemis bulai. Dampaknya selain menyebabkan penurunan produksi, juga menimbulkan trauma bagi masyarakat untuk menanam jagung kembali. Dilaporkan bahwa kehilangan hasil akibat penyakit ini berkisar 50-80% di beberapa wilayah sentra pengembangan jagung seperti Jawa Timur, Sulawesi Selatan dan Kalimantan Barat. Kerugian yang besar tersebut akan tetap terjadi selama kendala pengelolaan penyakit bulai belum teratasi, antara lain keterbatasan teknologi pengendalian yang hanya bertumpu pada penggunaan varietas tahan dan fungisida.

Penyebab penyakit bulai merupakan anggota golongan Oomycetes (Peronosporomycetes), suatu kelompok takson yang relatif kecil dengan perkiraan <1.000 spesies. Karena kemiripan secara morfologi, fisiologi, dan ekologi yang mirip dengan kapang, Oomycetes sering dianggap sebagai jamur, akan tetapi data filo genetik ultra struktural, biokimia, dan molekuler memastikan bahwa mereka tidak berkerabat secara langsung dengan jamur sejati (kingdom fungi), tetapi masuk ke dalam kingdom Chromista.

Penyakit bulai disebabkan oleh oomycetes Peronosclerospora spp. yang penularan sporanya pada tanaman jagung terbawa oleh angin di pagi hari. Sumber inokulum penyakit bulai tergantung pada spesies patogennya. Sumber inokulum dapat berupa oospora yang merupakan spora bertahan saat kondisi musim dingin atau konidia dari tanaman terinfeksi yang ada di sekitar pertanaman baru. Beberapa spesies patogen bulai bersifat tular benih, namun terbatas pada benih yang segar dan memiliki kadar air tinggi.

Pada awal musim tanam, pada kondisi suhu tanah di atas 20°C, oospora dalam tanah berkecambah sebagai respons terhadap eksudat akar dari bibit jagung yang rentan. Tabung kecambah menginfeksi bagian tanaman dibawah permukaan tanah dan menyebabkan gejala sistemik termasuk klorosis dan pertumbuhan tanaman menjadi kerdil. Ketika oospora menginisiasikan infeksi, daun pertama umumnya bebas penyakit, berbeda halnya jika patogen terbawa benih seluruh bagian tanaman akan menunjukkan gejala penyakit. Oospora dilaporkan bertahan hidup di alam hingga 10 tahun.

Penyakit bulai dapat menular dari tanaman sakit sebagai sumber inokulum ke tanaman sehat. Faktor lingkungan dan struktur morfologi daun tanaman jagung merupakan pemicu utama gagalnya konidia berkecambah. Perkecambahan merupakan kondisi yang paling lemah dan peka terhadap perubahan faktor lingkungan. Perubahan lingkungan yang drastis akan menyebabkan kematian tabung kecambah sehingga tidak terjadi infeksi. Selain itu, perkecambahan memerlukan suhu yang sesuai dan kelembaban dalam bentuk lapisan air pada permukaan tanaman atau tanah. Keadaan basah atau bentuk lapisan air ini harus berlangsung cukup lama hingga patogen mampu masuk atau melakukan penetrasi ke dalam sel atau jaringan. Jika hanya berlangsung sebentar maka patogen akan kekeringan dan mati, sehingga gagal melakukan serangan.

Faktor utama yang mendorong percepatan perkembangan penyakit bulai ialah suhu udara yang relatif tinggi yang disertai kelembaban tinggi. Curah hujan yang tinggi dan hujan sering terjadinya pada malam hari dapat meningkatkan kelembaban yang tinggi sehingga perkembangan penyakit bulai juga meningkat.

Penyakit bulai umumnya ditemukan di dataran rendah dan jarang menyerang di daerah dataran tinggi dari 900-1.200m. Infeksi hanya terjadi jika ada air, baik air embun, air hujan atau air guttasi. Di waktu malam dalam corong daun tanaman jagung muda selalu terdapat air guttasi. Suhu lingkungan saat malam hari sampai menjelang pagi dibawah 24°C dan kondisi daun berembun memicu pembentukan sporangia yang tinggi.

Penyebaran penyakit bulai dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya jarak tanaman, angin dan hujan. Meskipun patogen ini berada sistemik dalam biji, tapi jika biji dikeringkan hingga 14%, maka tidak lagi terinfeksi. Oospora dapat disebarkan melalui benih, angin dan air. Oospora dapat bertahan beberapa tahun pada kondisi yang menguntungkan.

Jarak tanaman merupakan masalah praktis di lapangan yang sangat menentukan dalam usaha meningkatkan hasil. Selain itu, semakin dekat jarak tanaman akan mempengaruhi perkembangan penyakit. Hal ini dikarenakan kondisi kelembaban yang tinggi dan rendahnya paparan sinar matahari yang sampai pada tanaman sehingga menguntungkan bagi perkembangan patogen.

Angin diketahui sebagai salah satu penyebar konidia patogen yang dapat menjangkau jarak yang jauh. Penyebaran konidia Peronosclerospora spp. pada musim kemarau sangat baik dikarenakan kecepatan angin lebih tinggi dibandingkan saat musim hujan. Pada bulan kering, kecepatan angin menjadi pemicu utama untuk pembebasan spora. Pemencaran spora didukung oleh tingginya suhu dan sinar matahari dengan intensitas dan waktu yang lama serta menurunnya kelembaban udara.

Pola sebaran penyakit bulai terjadi secara acak. Mekanisme penularan bulai adalah tanaman sakit pada awal musim terjadi infeksi konidia dari luar pertanaman. Selanjutnya penyakit akan berkembang dari hasil penularan konidia tanaman sakit di dalam pertanaman. Puncak penularan terjadi pada minggu ke-4. Besarnya intensitas serangan penyakit bulai sangat ditentukan oleh waktu infeksi. Semakin awal terjadi infeksi, maka akan diikuti dengan intensitas penyakit tinggi. Hal ini terjadi disebabkan oleh sifat penularan bulai mengikuti pola penyakit majemuk. Infeksi primer terjadi melalui penularan konidia yang berasal dari luar pertanaman. Hal ini terjadi pada awal tanam, selanjutnya infeksi primer akan menghasilkan infeksi sekunder selang 1 minggu kemudian. Infeksi sekunder (siklus polisiklik) dapat terjadi antara 2-5 MST.

Melihat pola penyebaran penyakit bulai, maka upaya penundaan infeksi pada awal tanam mempunyai peranan sangat penting dalam menekan intensitas penyakit. Penundaan infeksi sampai 2 MST hanya menyebabkan tingkat kerusakan yang rendah. Upaya pengendalian dengan pengaturan waktu tanam dapat menunda terjadinya epidemi penyakit.

Peronosclerospora spp. menyerang tanaman masih muda, gejala mulai ditemukan saat tanaman berumur 2-3 MST. Penyakit dapat dikenali dengan terbentuknya struktur jamur menyerupai tepung pada permukaan daun. umumnya petani kurang menghiraukan keberadaan tanaman sakit dan dipertahankan hingga dewasa. Hal ini berarti keberadaan sumber inokulum bulai sebenarnya dengan mudah dapat dijumpai di pertanaman jagung, sementara petani juga tidak melakukan tindakan pengendalian penyakit.

Daun yang baru saja membuka pada tanaman terinfeksi bulai mempunyai bercak-bercak klorotis kecil-kecil. Bercak ini akan berkembang menjadi jalur yang sejajar dengan tulang induk berwarna putih sampai kekuningan pada permukaan daun, diikuti oleh garis-garis klorotik. Daun berbentuk kaku, tegak dan menyempit karena adanya benang-benang patogen dalam ruang antar selnya. Ciri lainnya, pada pagi hari di sisi bawah daun terdapat lapisan tepung berwarna putih. Gejala yang ditemukan jika perakaran tanaman jagung dicabut terlihat ada akar menggerombol tidak berkembang sehingga mengganggu proses transfer hara ke daun dan seluruh tanaman sehingga tampak pucat.

Serangan penyakit bulai menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat dan pembentukan tongkol terganggu, bahkan tidak bisa berongkol sama sekali. Tanaman yang terinfeksi sistemik sejak muda di bawah umur 1 bulan biasanya mati. Tanaman jagung mengalami periode kritis saat tanaman berumur antara umur 1 – 5 minggu setelah tanam (MST), apabila selama masa periode kritis tersebut tanaman tidak menimbulkan gejala serangan maka tanaman jagung akan tumbuh normal dan bisa menghasilkan tongkol. Peningkatan suhu dan kelembaban setelah pemberian urea dapat mempercepat perkembangan penyakit ini. Sementara, jika infeksi terjadi pada tanaman yang lebih tua, tanaman akan terus tumbuh dan membentuk tongkol. Tongkol yang terbentuk lebih panjang dengan kelobot yang tidak menutup pada ujungnya dan hanya membentuk sedikit biji.


Berikut ini beberapa tindakan pengendalian yang dapat dilakukan petani guna menekan serangan penyakit bulai di pertanaman diantaranya :

1.  Kultur Teknik

Ø Eradikasi Tanaman

Eradikasi tanaman sakit bertujuan untuk menekan penyebaran penyakit. Apabila ditemukan tanaman yang memperlihatkan gejala penyakit bulai di antara pertanaman jagung maka segera dicabut dan disimpan ditempat yang sama. Tanaman sakit yang disaput diupayakan tidak diangkut terlalu jauh karena adanya peluang spora yang melekat pada daun jatuh pada tanaman sehat yang dilewati. Pencabutan tanaman sakit dan langsung disimpan di lokasi yang sama cukup menekan sumber inokulum penyakit. Konidia dari tanaman sakit yang telah dicabut, jika tersimpan beberapa jam akan mati dikarenakan sifat obligat yang dimiliki oleh patogen bulai.

Ø Pengaturan Waktu Tanam

Tanaman jagung paling rentan terkena bulai pada saat tanaman mulai berkecambah hingga tanaman berumur 5 minggu setelah tanam. Penyakit bulai banyak berkembang pada waktu peralihan musim kemarau ke musim penghujan atau sebaliknya. Oleh karena itu, diupayakan pada saat terjadi peralihan musim, tanaman jagung sudah berumur lebih dari satu bulan.          

Ø Penanaman Serempak

Patogen penyebab bulai hanya dapat bertahan hidup dan berkembang pada tanaman yang hidup. Patogen tersebut tidak dapat hidup di tanah dan tanaman yang mati. Penanaman jagung secara serempak akan menekan serangan patogen penyebab bulai karena fase pertumbuhan tanaman relatif sama.

Periode bebas tanaman jagung hal ini dikhususkan ke daerah-daerah endemik bulai dimana jagung ditanam tidak serempak, sehingga terjadi variasi umur yang menyebabkan keberadaan bulai di lapangan selalu ada, sehingga menjadi sumber inokulum untuk pertanaman jagung berikutnya.

Rotasi tanaman dilakukan dengan tujuan untuk memutus ketersediaan bulai di lapangan dengan menanam tanaman bukan dari golongan serealia.

 

2.  Pengendalian Hayati

Pengendalian hayati dapat dilakukan dengan memanfaatkan mikroba-mikroba yang ada di sekitar kita. Mikroba tersebut dapat diisolasi dari beberapa sumber diantaranya endofit tanaman maupun rhizosfer tanaman. Mikroba endofit merupakan mikroba yang hidup di dalam jaringan tanaman sehat tanpa menyebabkan gejala infeksi atau kerusakan pada tanaman inang. Keuntungan dengan adanya mikroba endofit pada tanaman inang adalah dapat menekan serangan penyakit dan ketahanan sistemik atau terinduksi terhadap infeksi patogen. Ketahanan terinduksi merupakan ketahanan tanaman terhadap infeksi patogen karena tanaman sebelumnya telah terinfeksi oleh mikroorganisme lain, baik dari jenis yang sama maupun dari jenis yang lain.

 

3.  Penggunaan Varietas Tahan

Salah satu strategi pengembangan tanaman jagung pada daerah endemik bulai adalah penggunaan varietas tahan. Langkah awal untuk perakitan varietas jagung tahan bulai adalah melakukan seleksi terhadap galur-galur yang ada untuk mengetahui reaksinya terhadap cekaman bulai. Karakteristik fenotipik dan genotipik tahan cekaman bulai pada galur dan populasi plasma nutfah jagung digunakan sebagai informasi pemulai dalam pembentukan inbrida elit tahan bulai.

Dalam penerapan varietas tahan bulai untuk pengendalian penyakit bulai, pemerintah Indonesia telah membuat aturan, dalam pelepasan varietas jagung harus memiliki sifat ketahanan terhadap penyakit bulai. Hal ini amat penting karena sekalipun telah dilepas, apabila tidak tahan bulai tidak akan tersebar luas karena bisa gagal panen akibat penyakit bulai yang telah tersebar luas di Indonesia.

Beberapa varietas tahan penyakit bulai yaitu varietas yaitu Bima-3, Bima-7, Bima-8, Bima-9, Bima-14 Batara, Bisi-3, Bisi-4, Bisi-5, Bisi-6, Bisi-7, Bisi-8, Bisi-9, Bisi-12, Bisi-13, dan Bisi-15. Varietas lainnya yang diketahui agak tahan terhadap bulai yaitu Bima-1, Bima2 Bantimurung, dan Bima-15 Sayang.

4.  Kimiawi

Komponen pengendalian penyakit bulai yang umum dilakukan selama ini adalah perlakuan benih dengan fungisida saromil atau ridomil yang berbahan aktif metalaksil, karena praktis dan mudah dilakukan, bahkan petani tidak perlu melakukan tindakan apapun, hanya menanam benih jagung yang sudah diberi perlakuan fungisida. Umumnya benih jagung yang diperjualbelikan di pasaran telah diberi perlakuan fungisida metalaksil (benih terselubung dengan fungisida warna merah jambu). Adapun rekomendasi dosis penggunaan metalaksil ialah 2-3 gr/kg benih untuk mengendalikan spesies P. philipinensis, sementara 5 gr/kg benih untuk mengendalikan P. Maydis.

Fungisida sistemik lainnya yang umum digunakan untuk mengendalikan penyakit bulai, yaitu quinone outside inhibitors (QoI, seperti azoksistrobin, famoksadon dan fenamidon), fenilamid (seperti mefenoxam), carboxylic acid amides (misalnya dimetomorf), dan cyanoacetamidoximes (seperti cymoxanil).

Pengendalian penyakit bulai dapat juga dilakukan dengan penyemprotan tanaman terserang dengan menggunakan fungisida sistemik pada umur 10 – 22 hari melalui daun.  Lakukan penyemprotan berulang pada fase riskan tersebut. Hal ini dapat dilakukan melalui frekuensi perlakuan fungisida sistemik sebanyak 2, 3 atau 4, 5 kali sampai tanaman berumur 22 hari.

Penggunaan satu jenis fungisida secara terus menerus dalam jangka waktu yang lama dapat memicu resistensi patogen terhadap fungisida tersebut. Beberapa strategi yang dapat diterapkan antara lain dengan menggabungkan beberapa jenis fungisida yang mempunyai mekanisme kerja yang berbeda menjadi satu, baik sebagai formula maupun tank - mixed . Fungisida campuran tersebut selain memberikan pengendalian penyakit tanaman lebih baik dibandingkan dengan fungisida berbahan aktif tunggal, juga dapat menunda terbentuknya populasi patogen yang resisten terhadap fungisida.


Oleh : Zuni Fitriyantini, S.TP.

 

REFERENSI :

1. Muis, A. dkk. 2018. Penyakit Bulai Pada Tanaman Jagung Dan Upaya Pengendaliannya. Yogyakarta. Deepublish Publisher.

2. Prasetyo, T. dkk. 2013. Jagung : Teknologi Produksi dan Manajemen Usahatani. PISAgro. BPTP Jawa Tengah bekerja sama dengan PT. Syngenta Indonesia. Semarang.