Jagung sebagai salah satu makanan pokok pengganti beras adalah komoditas strategis di Indonesia. Kebutuhan jagung sebagai pemenuh bahan pangan dan pakan terus meningkat. Apalagi dengan semakin berkembangnya peternakan ayam baik pedaging maupun petelur yang sampai ke pelosok negeri menjadikan jagung sebagai komoditas yang sangat dicari.
Saat
ini produksi jagung dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan domestik karena
permintaannya semakin meningkat. Dengan berkembang pesatnya industri peternakan,
jagung merupakan komponen utama (60%) dalam ransum pakan. Diperkirakan lebih
dari 55% kebutuhan jagung dalam negeri digunakan untuk pakan, sedangkan untuk
konsumsi pangan hanya sekitar 30%, dan sisanya untuk kebutuhan industri lainnya
dan benih. Dengan demikian, peran jagung sebetulnya sudah berubah lebih sebagai
bahan baku industri dibanding sebagai bahan pangan.
Upaya
peningkatan produksi jagung terkadang mengalami kendala biotik dan abiotik.
Kendala abiotik meliputi kekeringan, kekurangan unsur hara, kemarau dan lain
sebagainya. Sementara kendala abiotik berupa serangan organisme pengganggu
tanaman (OPT). OPT berasal dari 3 golongan yakni patogen, hama, dan gulma.
Ketiga OPT tersebut berasosiasi di pertanaman sehingga pertumbuhan dan
perkembangan tanaman yang dibudidayakan menjadi terhambat bahkan beberapa jenis
OPT dapat mengakibatkan pertanaman menjadi gagal panen. Kondisi tersebut
terjadi saat lingkungan mendukung perkembangan OPT tanaman, sementara varietas
tanaman yang di tanaman merupakan varietas rentan. Beberapa spesies OPT baik
hama maupun patogen menjadi OPT penting pada suatu jenis tanaman, salah satunya
ialah Oomycetes Peronosclerospora spp.
penyebab penyakit bulai pada tanaman jagung.
Peronosclerospora
spp. menyerang tanaman jagung yang masih muda dengan gejala lokal dan sistemik
sehingga terkadang tanaman tidak bisa menghasilkan tongkol (Semangun 1993).
Patogen ini menyebar luas di wilayah tropis dan subtropis yang mengembangkan
tanaman jagung. Penyakit bulai masih mendominasi penyebab kegagalan panen pada
pertanaman jagung. Penyakit bulai yang sudah mewabah akan menyebabkan
kehilangan hasil minimal 30 % bahkan tanaman tidak akan menghasilkan sama
sekali.
Penyakit
bulai menjadi bumerang bagi petani jagung di seluruh wilayah pengembangan
jagung nasional. Beberapa daerah di Indonesia telah dilaporkan endemis bulai.
Dampaknya selain menyebabkan penurunan produksi, juga menimbulkan trauma bagi
masyarakat untuk menanam jagung kembali. Dilaporkan bahwa kehilangan hasil
akibat penyakit ini berkisar 50-80% di beberapa wilayah sentra pengembangan
jagung seperti Jawa Timur, Sulawesi Selatan dan Kalimantan Barat. Kerugian yang
besar tersebut akan tetap terjadi selama kendala pengelolaan penyakit bulai
belum teratasi, antara lain keterbatasan teknologi pengendalian yang hanya
bertumpu pada penggunaan varietas tahan dan fungisida.
Penyebab
penyakit bulai merupakan anggota golongan Oomycetes
(Peronosporomycetes), suatu kelompok takson yang relatif kecil dengan
perkiraan <1.000 spesies. Karena kemiripan secara morfologi, fisiologi, dan
ekologi yang mirip dengan kapang, Oomycetes
sering dianggap sebagai jamur, akan tetapi data filo genetik ultra
struktural, biokimia, dan molekuler memastikan bahwa mereka tidak berkerabat
secara langsung dengan jamur sejati (kingdom fungi), tetapi masuk ke dalam
kingdom Chromista.
Penyakit
bulai disebabkan oleh oomycetes Peronosclerospora
spp. yang penularan sporanya pada tanaman jagung terbawa oleh angin di pagi
hari. Sumber inokulum penyakit bulai tergantung pada spesies patogennya. Sumber
inokulum dapat berupa oospora yang
merupakan spora bertahan saat kondisi musim dingin atau konidia dari tanaman
terinfeksi yang ada di sekitar pertanaman baru. Beberapa spesies patogen bulai
bersifat tular benih, namun terbatas pada benih yang segar dan memiliki kadar
air tinggi.
Pada
awal musim tanam, pada kondisi suhu tanah di atas 20°C, oospora dalam tanah
berkecambah sebagai respons terhadap eksudat akar dari bibit jagung yang
rentan. Tabung kecambah menginfeksi bagian tanaman dibawah permukaan tanah dan
menyebabkan gejala sistemik termasuk klorosis dan pertumbuhan tanaman menjadi
kerdil. Ketika oospora menginisiasikan infeksi, daun pertama umumnya bebas
penyakit, berbeda halnya jika patogen terbawa benih seluruh bagian tanaman akan
menunjukkan gejala penyakit. Oospora dilaporkan bertahan hidup di alam hingga
10 tahun.
Penyakit
bulai dapat menular dari tanaman sakit sebagai sumber inokulum ke tanaman
sehat. Faktor lingkungan dan struktur morfologi daun tanaman jagung merupakan
pemicu utama gagalnya konidia berkecambah. Perkecambahan merupakan kondisi yang
paling lemah dan peka terhadap perubahan faktor lingkungan. Perubahan
lingkungan yang drastis akan menyebabkan kematian tabung kecambah sehingga
tidak terjadi infeksi. Selain itu, perkecambahan memerlukan suhu yang sesuai
dan kelembaban dalam bentuk lapisan air pada permukaan tanaman atau tanah.
Keadaan basah atau bentuk lapisan air ini harus berlangsung cukup lama hingga
patogen mampu masuk atau melakukan penetrasi ke dalam sel atau jaringan. Jika
hanya berlangsung sebentar maka patogen akan kekeringan dan mati, sehingga
gagal melakukan serangan.
Faktor
utama yang mendorong percepatan perkembangan penyakit bulai ialah suhu udara
yang relatif tinggi yang disertai kelembaban tinggi. Curah hujan yang tinggi
dan hujan sering terjadinya pada malam hari dapat meningkatkan kelembaban yang
tinggi sehingga perkembangan penyakit bulai juga meningkat.
Penyakit
bulai umumnya ditemukan di dataran rendah dan jarang menyerang di daerah
dataran tinggi dari 900-1.200m. Infeksi hanya terjadi jika ada air, baik air
embun, air hujan atau air guttasi. Di waktu malam dalam corong daun tanaman
jagung muda selalu terdapat air guttasi. Suhu lingkungan saat malam hari sampai
menjelang pagi dibawah 24°C dan kondisi daun berembun memicu pembentukan
sporangia yang tinggi.
Penyebaran
penyakit bulai dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya jarak tanaman,
angin dan hujan. Meskipun patogen ini berada sistemik dalam biji, tapi jika
biji dikeringkan hingga 14%, maka tidak lagi terinfeksi. Oospora dapat
disebarkan melalui benih, angin dan air. Oospora dapat bertahan beberapa tahun
pada kondisi yang menguntungkan.
Jarak
tanaman merupakan masalah praktis di lapangan yang sangat menentukan dalam
usaha meningkatkan hasil. Selain itu, semakin dekat jarak tanaman akan
mempengaruhi perkembangan penyakit. Hal ini dikarenakan kondisi kelembaban yang
tinggi dan rendahnya paparan sinar matahari yang sampai pada tanaman sehingga
menguntungkan bagi perkembangan patogen.
Angin
diketahui sebagai salah satu penyebar konidia patogen yang dapat menjangkau
jarak yang jauh. Penyebaran konidia Peronosclerospora
spp. pada musim kemarau sangat baik dikarenakan kecepatan angin lebih
tinggi dibandingkan saat musim hujan. Pada bulan kering, kecepatan angin
menjadi pemicu utama untuk pembebasan spora. Pemencaran spora didukung oleh
tingginya suhu dan sinar matahari dengan intensitas dan waktu yang lama serta
menurunnya kelembaban udara.
Pola
sebaran penyakit bulai terjadi secara acak. Mekanisme penularan bulai adalah
tanaman sakit pada awal musim terjadi infeksi konidia dari luar pertanaman.
Selanjutnya penyakit akan berkembang dari hasil penularan konidia tanaman sakit
di dalam pertanaman. Puncak penularan terjadi pada minggu ke-4. Besarnya
intensitas serangan penyakit bulai sangat ditentukan oleh waktu infeksi.
Semakin awal terjadi infeksi, maka akan diikuti dengan intensitas penyakit
tinggi. Hal ini terjadi disebabkan oleh sifat penularan bulai mengikuti pola
penyakit majemuk. Infeksi primer terjadi melalui penularan konidia yang berasal
dari luar pertanaman. Hal ini terjadi pada awal tanam, selanjutnya infeksi
primer akan menghasilkan infeksi sekunder selang 1 minggu kemudian. Infeksi
sekunder (siklus polisiklik) dapat terjadi antara 2-5 MST.
Melihat
pola penyebaran penyakit bulai, maka upaya penundaan infeksi pada awal tanam
mempunyai peranan sangat penting dalam menekan intensitas penyakit. Penundaan
infeksi sampai 2 MST hanya menyebabkan tingkat kerusakan yang rendah. Upaya
pengendalian dengan pengaturan waktu tanam dapat menunda terjadinya epidemi
penyakit.
Peronosclerospora spp. menyerang tanaman masih muda, gejala
mulai ditemukan saat tanaman berumur 2-3 MST. Penyakit dapat dikenali dengan
terbentuknya struktur jamur menyerupai tepung pada permukaan daun. umumnya
petani kurang menghiraukan keberadaan tanaman sakit dan dipertahankan hingga
dewasa. Hal ini berarti keberadaan sumber inokulum bulai sebenarnya dengan
mudah dapat dijumpai di pertanaman jagung, sementara petani juga tidak
melakukan tindakan pengendalian penyakit.
Daun
yang baru saja membuka pada tanaman terinfeksi bulai mempunyai bercak-bercak
klorotis kecil-kecil. Bercak ini akan berkembang menjadi jalur yang sejajar
dengan tulang induk berwarna putih sampai kekuningan pada permukaan daun,
diikuti oleh garis-garis klorotik. Daun berbentuk kaku, tegak dan menyempit
karena adanya benang-benang patogen dalam ruang antar selnya. Ciri lainnya,
pada pagi hari di sisi bawah daun terdapat lapisan tepung berwarna putih.
Gejala yang ditemukan jika perakaran tanaman jagung dicabut terlihat ada akar
menggerombol tidak berkembang sehingga mengganggu proses transfer hara ke daun
dan seluruh tanaman sehingga tampak pucat.
Serangan penyakit bulai menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat dan pembentukan tongkol terganggu, bahkan tidak bisa berongkol sama sekali. Tanaman yang terinfeksi sistemik sejak muda di bawah umur 1 bulan biasanya mati. Tanaman jagung mengalami periode kritis saat tanaman berumur antara umur 1 – 5 minggu setelah tanam (MST), apabila selama masa periode kritis tersebut tanaman tidak menimbulkan gejala serangan maka tanaman jagung akan tumbuh normal dan bisa menghasilkan tongkol. Peningkatan suhu dan kelembaban setelah pemberian urea dapat mempercepat perkembangan penyakit ini. Sementara, jika infeksi terjadi pada tanaman yang lebih tua, tanaman akan terus tumbuh dan membentuk tongkol. Tongkol yang terbentuk lebih panjang dengan kelobot yang tidak menutup pada ujungnya dan hanya membentuk sedikit biji.
Berikut
ini beberapa tindakan pengendalian yang dapat dilakukan petani guna menekan
serangan penyakit bulai di pertanaman diantaranya :
1. Kultur
Teknik
Ø Eradikasi
Tanaman
Eradikasi tanaman sakit bertujuan untuk menekan penyebaran
penyakit. Apabila ditemukan tanaman yang memperlihatkan gejala penyakit bulai
di antara pertanaman jagung maka segera dicabut dan disimpan ditempat yang
sama. Tanaman sakit yang disaput diupayakan tidak diangkut terlalu jauh karena adanya
peluang spora yang melekat pada daun jatuh pada tanaman sehat yang dilewati.
Pencabutan tanaman sakit dan langsung disimpan di lokasi yang sama cukup
menekan sumber inokulum penyakit. Konidia dari tanaman sakit yang telah
dicabut, jika tersimpan beberapa jam akan mati dikarenakan sifat obligat yang dimiliki
oleh patogen bulai.
Ø Pengaturan
Waktu Tanam
Tanaman jagung paling rentan
terkena bulai pada saat tanaman mulai berkecambah hingga tanaman berumur 5
minggu setelah tanam. Penyakit bulai banyak berkembang pada waktu peralihan
musim kemarau ke musim penghujan atau sebaliknya. Oleh karena itu, diupayakan
pada saat terjadi peralihan musim, tanaman jagung sudah berumur lebih dari satu
bulan.
Ø Penanaman
Serempak
Patogen penyebab bulai hanya dapat bertahan
hidup dan berkembang pada tanaman yang hidup. Patogen tersebut tidak dapat
hidup di tanah dan tanaman yang mati. Penanaman jagung secara serempak akan
menekan serangan patogen penyebab bulai karena fase pertumbuhan tanaman relatif
sama.
Periode bebas tanaman jagung hal ini
dikhususkan ke daerah-daerah endemik bulai dimana jagung ditanam tidak serempak,
sehingga terjadi variasi umur yang menyebabkan keberadaan bulai di lapangan
selalu ada, sehingga menjadi sumber inokulum untuk pertanaman jagung
berikutnya.
Rotasi tanaman dilakukan dengan tujuan untuk
memutus ketersediaan bulai di lapangan dengan menanam tanaman bukan dari
golongan serealia.
2. Pengendalian
Hayati
Pengendalian hayati
dapat dilakukan dengan memanfaatkan mikroba-mikroba yang ada di sekitar kita.
Mikroba tersebut dapat diisolasi dari beberapa sumber diantaranya endofit
tanaman maupun rhizosfer tanaman. Mikroba endofit merupakan mikroba yang hidup
di dalam jaringan tanaman sehat tanpa menyebabkan gejala infeksi atau kerusakan
pada tanaman inang. Keuntungan dengan adanya mikroba endofit pada tanaman inang
adalah dapat menekan serangan penyakit dan ketahanan sistemik atau terinduksi
terhadap infeksi patogen. Ketahanan terinduksi merupakan ketahanan tanaman
terhadap infeksi patogen karena tanaman sebelumnya telah terinfeksi oleh
mikroorganisme lain, baik dari jenis yang sama maupun dari jenis yang lain.
3. Penggunaan
Varietas Tahan
Salah satu strategi
pengembangan tanaman jagung pada daerah endemik bulai adalah penggunaan
varietas tahan. Langkah awal untuk perakitan varietas jagung tahan bulai adalah
melakukan seleksi terhadap galur-galur yang ada untuk mengetahui reaksinya terhadap
cekaman bulai. Karakteristik fenotipik dan genotipik tahan cekaman bulai pada
galur dan populasi plasma nutfah jagung digunakan sebagai informasi pemulai
dalam pembentukan inbrida elit tahan bulai.
Dalam penerapan varietas tahan bulai untuk
pengendalian penyakit bulai, pemerintah Indonesia telah membuat aturan, dalam pelepasan
varietas jagung harus memiliki sifat ketahanan terhadap penyakit bulai. Hal ini
amat penting karena sekalipun telah dilepas, apabila tidak tahan bulai tidak
akan tersebar luas karena bisa gagal panen akibat penyakit bulai yang telah
tersebar luas di Indonesia.
Beberapa varietas tahan penyakit bulai yaitu
varietas yaitu Bima-3, Bima-7, Bima-8, Bima-9, Bima-14 Batara, Bisi-3, Bisi-4, Bisi-5,
Bisi-6, Bisi-7, Bisi-8, Bisi-9, Bisi-12, Bisi-13, dan Bisi-15. Varietas lainnya
yang diketahui agak tahan terhadap bulai yaitu Bima-1, Bima2 Bantimurung, dan Bima-15
Sayang.
4. Kimiawi
Komponen pengendalian
penyakit bulai yang umum dilakukan selama ini adalah perlakuan benih dengan
fungisida saromil atau ridomil yang berbahan aktif metalaksil, karena praktis dan
mudah dilakukan, bahkan petani tidak perlu melakukan tindakan apapun, hanya
menanam benih jagung yang sudah diberi perlakuan fungisida. Umumnya benih
jagung yang diperjualbelikan di pasaran telah diberi perlakuan fungisida
metalaksil (benih terselubung dengan fungisida warna merah jambu). Adapun rekomendasi
dosis penggunaan metalaksil ialah 2-3 gr/kg benih untuk mengendalikan spesies P. philipinensis, sementara 5 gr/kg benih
untuk mengendalikan P. Maydis.
Fungisida sistemik
lainnya yang umum digunakan untuk mengendalikan penyakit bulai, yaitu quinone
outside inhibitors (QoI, seperti azoksistrobin, famoksadon dan fenamidon),
fenilamid (seperti mefenoxam), carboxylic acid amides (misalnya dimetomorf),
dan cyanoacetamidoximes (seperti cymoxanil).
Pengendalian penyakit
bulai dapat juga dilakukan dengan penyemprotan tanaman terserang dengan
menggunakan fungisida sistemik pada umur 10 – 22 hari melalui daun. Lakukan penyemprotan berulang pada fase riskan
tersebut. Hal ini dapat dilakukan melalui frekuensi perlakuan fungisida
sistemik sebanyak 2, 3 atau 4, 5 kali sampai tanaman berumur 22 hari.
Penggunaan satu jenis
fungisida secara terus menerus dalam jangka waktu yang lama dapat memicu resistensi
patogen terhadap fungisida tersebut. Beberapa strategi yang dapat diterapkan
antara lain dengan menggabungkan beberapa jenis fungisida yang mempunyai mekanisme
kerja yang berbeda menjadi satu, baik sebagai formula maupun tank - mixed . Fungisida campuran
tersebut selain memberikan pengendalian penyakit tanaman lebih baik dibandingkan
dengan fungisida berbahan aktif tunggal, juga dapat menunda terbentuknya
populasi patogen yang resisten terhadap fungisida.
Oleh : Zuni Fitriyantini, S.TP.
REFERENSI :
1. Muis, A. dkk. 2018. Penyakit Bulai Pada Tanaman Jagung Dan Upaya Pengendaliannya. Yogyakarta. Deepublish Publisher.
2. Prasetyo, T. dkk. 2013. Jagung : Teknologi Produksi dan Manajemen Usahatani. PISAgro. BPTP Jawa Tengah bekerja sama dengan PT. Syngenta Indonesia. Semarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar