Selasa, 26 Juni 2018

HAMA PADA TANAMAN JAGUNG




Peningkatan produksi pada budidaya jagung menjadi salah satu tuntutan utama petani. hal ini pun telah menjadi perhatian pemerintah, khususnya kementerian pertanian dengan salah satu programnya yang berjudul UPSUS PAJALE (Upaya Khusus Padi Jagung Kedelai) belum lama ini. Dalam dua tahun belakangan, pemerintah memberi bantuan benih jagung serta pupuk guna mendorong peningkatan produksi.

Salah satu kendala dalam peningkatan produksi jagung adalah serangan hama dan penyakit. Beberapa jenis hama yang penting yaitu lalat bibit (Atherigona sp.), ulat tanah (Agrothis sp.), lundi/uret (Phylophaga hellen), penggerek batang jagung (Ostrinia furnacalis), ulat grayak (Spodoptera litura, Mythimna sp.), penggerek tongkol (Helicoverpa armigera), dan wereng jagung (Peregrinus maydis). Berikut akan dibahas satu persatu hama pada tanaman jagung berdasarkan umur tanam.

Jenis hama tanaman jagung pada fase vegetatif (0–14 hari setelah tanam)

1. Lalat bibit (Atherigona sp.)
 Lalat bibit berukuran kecil, telur berbentuk memanjang dan diletakkan pada daun termuda (hypocoty). Setelah 48 jam telur menetas pada waktu malam, tempayak keluar dari telur lalu bergerak cepat menuju titik tumbuh yang merupakan makanan utamanya. Hama ini mulai menyerang tanaman semenjak tumbuh sampai tanaman berumur sekitar satu bulan. Tempayak lalat bibit menggerek pucuk tanaman dan masuk sampai ke dalam batang.
Lalat bibit menyukai tanaman muda yang berumur antara 6 sampai 9 hari setelah tanam (HST) untuk meletakkan telurnya. Pada saat itu tanaman baru berdaun 2–3 helai dan pada umumnya telur lalat terbanyak diletakkan pada daun pertama. Pada kedalaman tertentu biasanya tempayak ini bergerak lagi kebagian atas tanaman setelah menggerek batang, selanjutnya keluar untuk berpupa di dalam tanah. Pada serangan berat, tanaman jagung dapat menjadi layu ataupun mati dan jika tidak mati pertumbuhannya terhambat.
Lalat bibit cepat berkembang biak dengan pada kelembaban tinggi, oleh karena itu di musim hujan lalat ini merupakan hama utama jagung. Siklus hidupnya berkisar 15–25 hari. Seekor lalat bibit betina mampu bertelur 20–25 butir. Untuk pengendaliannya menggunakan varietas tahan dan seeds treatment melalui tanah pada waktu tanam atau diberikan pada kuncup daun pada umur tanaman satu minggu dengan dosis 0.24 kg b.a/ha.

2. Ulat tanah (Agrotis ipsilon Hwfn.)


Ngengat Agrotis ipsilon meletakkan telur satu persatu dalam barisan atau diletakkan rapat pada salah satu permukaan daun pada bagian tanaman dekat dengan permukaan tanah. Seekor ngengat betina dapat bertelur ± 1800 butir. Stadia telur 6–7 hari. Larva muda bersifat fototaksis, sedang larva yang lebih tua bersifat geotaksis sehingga pada siang hari bersembunyi di dalam tanah dan muncul kembali untuk makan pada malam hari. Satu generasi dapat berlangsung 4–6 minggu. Pengendalian : tanam serentak, dapat pula dilakukan penggenangan.

3. Lundi (uret) (Phyllophaga hellen)

Kumbang muncul atau terbang setelah ada hujan pertama yang cukup lebat sehingga menyebabkan tanah cukup lembab. Telur diletakkan satu persatu di dalam tanah. Stadium telur 10 -11 hari. Stadium larva aktif ± 5,5 bulan dan larva tidak aktif sekitar 40 hari. Larva menyerang tanaman jagung dibagian perakaran, sehingga mengakibatkan tanaman menjadi layu dan dapat rebah atau mati. Pengendalian : pergiliran tanaman atau mengolah tanah dengan baik untuk mematikan larva.

Jenis hama tanaman jagung pada fase vegetatif (15 – 42 hari setelah tanam)

1. Penggerek batang (Ostrinia furnacalis Guenee)
Pada umumnya telur Ostrinia furnacalis yang mencapai 90 butir diletakkan pada tulang daun bagian bawah dari tiga daun teratas. Ulat yang keluar dari telur menuju bunga jantan dan menyebar bersama angin. Ada pula yang langsung menggerek tulang daun yang telah terbuka, kemudian menuju batang dan menggerek batang tersebut serta membentuk lorong mengarah ke atas. Setelah sampai dibuku bagian atas, ulat segera turun kebuku bagian bawah. Ulat berpupa di dalam batang. Seekor ngengat betina mampu bertelur 300– 500 butir. Siklus hidup 22–45 hari. Batang tanaman jagung biasanya patah-patah kemudian tanaman mati karena terhentinya translokasi hara dari akar tanaman ke daun. Pengendalian : dengan menggunakan insektisida Carbofuran 3% di pucuk tanaman sebanyak 2-3 g pertanaman.

2. Ulat grayak (Spodoptera litura F., Mythimna separata)

 Ulat ini muncul dipertanaman setelah 11 – 30 HST. Serangan pada tanaman muda dapat menghambat pertumbuhan tanaman bahkan dapat mematikan tanaman. Serangan berat pada pertanaman dapat mengakibatkan tinggal tulang-tulang daun saja. Ngengat betina meletakkan kelompok- kelompok telur yang ditutupi bulu-bulu halus berwarna merah sawo pada permukaan bawah daun. Setiap kelompok telur terdiri dari 100 – 300 butir. Seekor ngengat betina mampu bertelur 1000 – 2000 butir. Masa telur 3 – 4 hari, ulat 17 – 20 hari, kepompong 10 – 14 hari. Siklus hidupnya 36 – 45 hari. Pengendalian: dengan menggunakan insektisida Carbofuran 3% diberikan pada pucuk tanaman.

3. Wereng Jagung (Peregrinus maidis Ashm.)
Bentuk dan ukuran serangga dewasa mirip dengan hama wereng coklat dewasa yang meyerang padi. Siklus hidup 25 hari, masa telur 8 hari, telurnya berbentuk bulat panjang dan agak membengkok (seperti buah pisang), warna putih bening yang diletakkan pada jaringan pelepah daun secara terpisah atau berkelompok. Nimpa mengalami 5 instar, instar pertama berwarna kemerah-merahan kemudian berangsur-angsur berubah menjadi putih kekuning-kuningan. Disepanjang permukaan atas badannya terdapat bintik-bintik kecil berwarna coklat. Instar pertama menyukai daun-daun yang baru tebuka, pelepah daun, kelopak daun dan bunga jantan yang masih muda dan lunak. Tubuh wereng dewasa berwarna kuning kecoklatan, sayap bening dan kedua mata berwarna hitam. Terdapat duri pada tibia belakang yang dapat berputar. Serangga dewasa ada yang mempunyai sayap panjang dan ada pula bersayap pendek. Mempunyai bintik pada ujung sayap dan bergaris kuning pada belakangnya. Sedangkan pada yang bersayap pendek mempunyai sayap transparan dengan bintik warna gelap. Keduanya mempunyai karakteristik dengan corak warna hitam dan putih pada bagian ventral abdomen. Berkembang pada musim hujan lebih dari 500 ekor pertanaman pada umur jagung ± 2 bulan, sedangkan pada musim kemarau populasi relatif rendah hanya 1 – 23 ekor pertanaman. Gejala serangan pada daun tampak bercak bergaris kuning, garis-garis pendek terputus-putus sampai bersambung terutama pada tulang daun kedua dan ketiga. Daun tampak bergaris kuning panjang, begitu pula pada pelepah daun. Pertumbuhan tanaman akan terhambat, menjadi kerdil, tanaman menjadi layu dan kering (hopper burn). Pengendalian : waktu tanam serempak, waktu tanam dilakukan pada akhir musim hujan dan bila menggunakan insektisida gunakan insektisida Carbofuran 3%.

Jenis hama tanaman jagung pada fase generatif penyerbukan dan pembuahan (43–70 hari setelah tanam)

1. Penggerek tongkol (Helicoverpa armigera Hubn.)
    Serangga ini muncul di pertanaman pada umur 45 – 56 hari setelah tanam (HST), bersamaan dengan munculnya rambut-rambut tongkol. Telur diletakkan pada rambut-rambut tongkol secara tunggal, dan menetas setelah ± 4 hari. Ulat ini menjadi pupa di dalam tongkol atau di tanah. Ngengat aktif pada malam hari dan mampu bertelur 600 – 1000 butir. Stadia pupa berkisar antara 12 – 14 hari. Selain menyerang tongkol juga menyerang pucuk dan menyerang malai sehingga bunga jantan tidak terbentuk yang mengakibatkan hasil berkurang. Siklus hidupnya ± 36 – 45 hari. Pengendalian: dengan menggunakan parasit Trichogramma sp.,, menggunakan insektisida bila ditemui 3 tongkol rusak per 50 tanaman pada saat tanaman baru terbentuk buah dengan mengaplikasikan insektisida Carbofuran 3% pada saat menjelang berbunga.

Demikian pembahasan tentang hama yang menyerang tanaman jagung dibagi berdasarkan umur tanaman. Semoga bermanfaat.

Oleh : Zuni Fitriyantini S.TP.

Sumber :
Surtikanti. 2011. Hama dan Penyakit Penting Tanaman Jagung dan Pengendaliannya. Dalam Prosiding Seminar Nasional Serealia 2011. Balai Penelitian Tanaman Serealia. 

Jumat, 08 Juni 2018

AMAN MENGGUNAKAN PESTISIDA



             Pada budidaya padi di lahan sawah, petani pasti bergelut dengan berbagai macam organisme pengganggu tanaman (OPT). Kehadiran OPT ini mengharuskan petani untuk mengeluarkan biaya produksi demi menjaga pertumbuhan tanaman padinya dengan membeli pestisida yang banyak tersedia di kios pertanian. 
            Penggunakan pestisida tidak dapat dipisahkan dari budidaya padi saat ini. Beraneka macam pestisida yang ada di kios pertanian memudahkan petani untuk mengendalikan OPT yang ada, bahkan ada petani yang secara rutin melakukan aplikasi / penyemprotan pestisida tanpa melakukan pengamatan terlebih dahulu di lahan sawah. Hal tersebut tentu sangat bertentangan dengan prinsip Pengendalian Hama Terpadu (PHT). 
 Pestisida secara harafiah dapat diartikan membunuh hama dan penyakit, karena pestisida berasal dari kata pest yang artinya hama dalam arti luas termasuk penyakit tanaman dan cide yang artinya membunuh. Menurut Peraturan Pemerintah No. 7, Tahun 1973, pestisida ialah semua zat kimia atau bahan lain serta jasad renik dan virus yang digunakan untuk :

-         Mengendalikan hama atau penyakit yang merusak tanaman, bagian tanaman atau hasil-hasil pertanian
-          Mengendalikan rerumputan liar atau gulma
-          Mengatur atau mengendalikan pertumbuhan yang tidak diinginkan
-          Mengendalikan atau mencegah hama pada hewan peliharaan atau ternak
-          Mengendalikan hama-hama air
-      Mengendalikan atau mencegah binatang-binatang yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia dan binatang yang dilindungi dengan penggunaan pada tanaman, tanah dan air
Berdasarkan konsepsi Pengendalian Hama Terpadu (PHT), penggunaan pestisida harus berdasarkan pada enam tepat, yaitu :
 (1) Tepat Sasaran
Pestisida yang digunakan harus berdasarkan jenis OPT yang menyerang tanaman. Oleh karena itu, sebelum menggunakan pestisida langkah awal yang harus dilakukan adalah melakukan pengamatan terlebih dahulu dengan tujuan untuk mengidentifikasi jenis OPT yang menyerang.  Membaca label pada kemasan pestisida wajib dilakukan sebelum menggunakan pestisida. Berikut adalah jenis pestisida dan OPT sasarannya :
a.    Insektisida    :   Serangga hama
b.    Akarisida      :   Hama golongan akarinan (tungau)
c.    Rodentisida  :   Binatang pengerat (tikus)
d.    Molluskisida :   Siput / moluska
e.    Nematisida   :   Nematoda
f.     Fungisida     :    Penyakit tanaman yang disebabkan oleh cendawan
g.  Bakterisida    :    Penyakit tanaman yang disebabkan oleh bakteri
h.  Herbisida       :    Rumput-rumput liar atau gulma
 (2) Tepat Mutu
Pestisida yang digunakan bahan aktifnya harus bermutu. Oleh karena itu dipilih pestisida yang terdaftar dan diijinkan oleh Komisi Pestisida. Pestisida yang tidak terdaftar, sudah kadaluarsa, rusak atau yang diduga palsu tidak boleh digunakan karena efikasinya diragukan dan bahkan dapat mengganggu pertumbuhan tanaman.
(3) Tepat Jenis Pestisida
Pestisida yang digunakan harus diketahui efektif terhadap hama dan penyakit sasaran tetapi tidak mengganggu perkembangan dan peranan organisme berguna.
(4) Tepat Waktu
Penggunaan pestisida berdasarkan konsepsi PHT harus dilakukan berdasarkan hasil pemantauan atau pengamatan rutin, yaitu jika populasi OPT atau kerusakan yang ditimbulkannya telah mencapai ambang pengendalian. Waktu yang tepat untuk melakukan penyemprotan adalah pada pagi hari (07.00 – 09.00) dan sore hari (17.00), ketika suhu udara < 30 oC dan kelembaban udara berkisar antara 50-80%.
(5) Tepat Dosis atau Konsentrasi
Daya racun pestisida terhadap jasad sasaran ditentukan oleh dosis atau konsentrasi formulasi pestisida yang digunakan. Dosis atau konsentrasi formulasi pestisida yang lebih rendah atau lebih tinggi dari yang dianjurkan akan memacu timbulnya generasi OPT yang akan kebal terhadap pestisida yang digunakan.
(6) Tepat Cara Penggunaan
Beberapa cara penggunaan pestisida antara lain ialah, pencelupan, pengasapan, pemercikan, penyuntikan, pengolesan, penaburan, penyiraman, dan penyemprotan. Pengetahuan tentang cara penggunaan pestisida mutlak diperlukan agar efikasi pestisida tersebut sesuai dengan yang diinginkan.
TEKNIK PENYEMPROTAN PESTISIDA
            Dalam penyemprotan pestisida, faktor teknis yang mendukung keberhasilan penyemprotan antara lain :
-     Pembuatan Larutan Semprot
Untuk melarutkan pestisida harus digunakan air bersih. Larutan semprot hendaknya dibuat di dalam wadah yang terpisah dari alat semprot. Jika digunakan penyemprot punggung, maka larutan semprot harus dibuat di dalam wadah yang volumenya lebih besar dari kebutuhan volume semprot itu sendiri.
-     Pencampuran Pestisida
Pencampuran yang dilakukan secara sembarangan dapat menimbulkan efek antogonistik (saling mengalahkan) atau netral, akibatnya efikasi pestisida tersebut menurun. Selain itu, pencampuran pestisida dengan pupuk daun juga tidak dibenarkan karena akan mengakibatkan kemanjuran pestisida tersebut menurun.
-     Pemilihan Jenis Nozzle (Spuyer)
Pemilihan jenis nozzle atau spuyer perlu mendapat perhatian, karena jenis spuyer menentukan ukuran butiran semprot, yang akan berpengaruh terhadap keberhasilan penyemprotan.
-     Tekanan Alat Semprot
Peralatan semprot harus mempunyai tekanan yang optimum. Untuk penyemprot punggung, tekanan optimumnya adalah 3 bar (atmosfer), sedangkan untuk penyemprot mesin (power sprayer) tekanan optimumnya adalah 8 – 10 bar.
-     Volume Semprot
Volume semprot ialah banyaknya larutan pestisida yang digunakan untuk satu luasan tertentu. Volume semprot yang terlalu sedikit akan menghasilkan penyemprotan yang tidak merata, sedang volume semprot yang terlalu banyak mengakibatkan terjadinya pemborosan.
-     Arah Nozzle (Spuyer) terhadap Bidang Semprot (Tanaman)
OPT pada umumnya berada di permukaan daun bagian bawah. Oleh karena itu nozzle atau spuyer hendaknya diarahkan menghadap ke atas dengan sudut kemiringan 45 oC.
-     Kecepatan Berjalan
Kecepatan berjalan petugas penyemprotan untuk mendapatkan hasil yang baik adalah sekitar 6 km/jam. Jika kecepatan berjalan kurang dari 6 km/jam, maka volume semprot yang digunakan akan boros dan jika kecepatan berjalan lebih dari 6 km/jam, maka hasil penyemprotan tidak rata.
 Selain faktor teknis, keberhasilan penyemprotan pestisida juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan, yaitu : (1) suhu, (2) kelembaban udara, dan (3) kecepatan angin.
KEAMANAN PETUGAS PENYEMPROTAN
Pestisida merupakan bahan beracun. Oleh karena itu faktor keamanan petugas penyemprot harus mendapat perhatian. Petugas penyemprot harus dilengkapi dengan celana panjang, baju lengan panjang, topi atau penutup kepala, masker, sarung tangan, dan kaca mata khusus. Dalam penyemprotan pestisida, faktor teknis yang mendukung.
Penanganan pestisida juga harus mendapat perhatian. Pestisida di tempatkan di dalam lemari khusus dan jauh dari jangkauan anak-anak. Kemasan pestisida yang sudah tidak terpakai sebaiknya dikumpulkan lalu dibakar. Bekas kemasan pestisida tidak boleh dibuang secara sembarangan karena akan mencemari lingkungan.
Faktor-faktor keamanan lain yang harus diperhatikan pada saat melakukan penyemprotan pestisida ialah :
-          Penyemprotan harus dilakukan sambil berjalan mundur agar petugas penyemprot tidak terpapar langsung oleh pestisida.
-    Jangan makan, minum atau merokok selama melakukan aktivitas penyemprotan pestisida.
-          Jangan menyentuh tanaman yang baru disemprot.
-          Cuci tangan sebelum makan, minum atau merokok.
-          Bersihkan badan dan cuci pakaian setelah digunakan.
PENGELOLAAN RESISTENSI ORGANISME PENGGANGGU TANAMAN TERHADAP PESTISIDA
Salah satu dampak penggunaan pestisida secara intensif ialah timbulnya OPT yang resisten terhadap pestisida tersebut. Resistensi OPT berkembang setelah adanya proses seleksi yang berlangsung selama beberapa generasi. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya untuk menghambat terjadinya resistensi OPT terhadap pestisida yang digunakan.
 Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk menghambat terjadinya resistensi OPT ialah dengan melakukan pergiliran pestisida berdasarkan cara kerjanya (mode of action). Sebagai contoh : insektisida yang berbahan aktif Abamectin tidak dapat digilir dengan insektisida yang berbahan aktif Emamectin Benzoate, Lepimectin, atau Milbemectin, karena walaupun bahan aktifnya berbeda tetapi cara kerjanya termasuk ke dalam kelompok yang sama yaitu No.6, sebagai racun saraf yang menghambat saluran Klorin aktivator. Cara menggilir pestisida harus mengikuti kaidah yang benar. Satu jenis pestisida sebaiknya digunakan paling banyak tiga kali berturut-turut selama kurun waktu tiga minggu.
Penggunaan pestisida yang selektif secara biologis dan secara ekologis sangat dianjurkan dalam upaya menghambat terjadinya resistensi OPT terhadap pestisida. Selektif secara biologis artinya pestisida tersebut hanya efektif terhadap OPT sasaran, tetapi musuh alami tidak terbunuh. Selektif secara ekologis dapat diartikan bahwa aplikasi pestisida dilaksanakan berdasarkan pada tingkat populasi atau intensitas serangan OPT yang secara ekonomi dapat menimbulkan kerugian.
Hasil penyemprotan perlu dievaluasi untuk mengetahui keefektifan pestisida yang digunakan. Cara sederhana yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut :
-   Lakukan pengamatan terhadap populasi atau intensitas serangan OPT secara berkala dengan interval 1 minggu.
-     Gambarkan hasil pengamatan tersebut pada selembar kertas grafik.
-  Jika populasi OPT atau intensitas serangan yang ditimbulkannya selama dua kali pengamatan ada kecenderungan terus meningkat, maka pestisida yang digunakan harus diganti.
-    Pestisida pengganti diusahakan yang bahan aktif dan cara kerjanya berbeda dengan yang digunakan sebelumnya.
        Demikian pembahasan tentang penggunaan pestisida yang aman bagi pengguna maupun lingkungan. Semoga bermanfaat. 
    Oleh : Zuni Fitriyantini, S.TP.
    Sumber :
Moekasan, T K. dan Prabaningrum, L.. 2011. Penggunaan Pestisida Berdasarkan Konsepsi Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Yayasan Bina Tani Sejahtera : Lembang.
PP. no. 7 tahun 1973 tentang Pengawasan Atas Peredaran, Penyimpanan dan Penggunaan Pestisida.