Kamis, 27 Juni 2024

PENTINGNYA PENILAIAN KELAS KEMAMPUAN KELOMPOK TANI

Kelompok tani merupakan organisasi petani yang menjadi tumpuan utama pembangunan pertanian di Indonesia. Semua bentuk bantuan dari Kementerian Pertanian harus melalui kelompok tani, tidak bisa diterimakan pada pribadi atau perseorangan. Kelompok tani dapat berupa kelompok tani dewasa, pemuda tani, maupun wanita tani. Kelompok tani dewasa biasa disebut dengan kelompok tani ( Poktan), pemuda tani biasa disebut Taruna tani atau Kelompok Pemuda Tani (KPT), sedangkan wanita tani biasa disebut dengan Kelompok Wanita Tani (KWT).

Keberadaan kelompok tani, baik dewasa, pemuda tani, maupun wanita tani tidak lepas dari peran serta penyuluh pertanian di lapangan. Pembentukan kelompok tani harus dihadiri dan atas sepengetahuan penyuluh pertanian agar dapat diakui secara legal dan datanya dimasukan ke simluhtan (Sistem Informasi Manajemen Penyuluhan Pertanian). Penyuluh pertanian lah yang bertugas mendampingi dan membina kelompok tani agar dapat tumbuh dan berkembang dengan baik sesuai dengan kondisi dan potensi sekitar.

Pembinaan dan pemberdayaan terhadap kelompok tani diharapkan dapat membantu menggali potensi sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia, memecahkan masalah usahatani anggotanya secara lebih efektif, dan memudahkan petani dan kelompoktani dalam mengakses informasi, pasar, teknologi, permodalan maupun sumberdaya lainnya. Selain itu pembinaan ini juga diharapkan mampu membentuk kelompok tani yang berjiwa kewirausahaan, mandiri, dan mengandalkan sistem organisasi manajerial yang berbasis bisnis komersial dengan tidak melupakan azas kegotongroyongan.

Upaya pembinaan dan pemberdayaan tersebut dapat diawali dengan melakukan pemetaan atas keberadaan dan keragaan dari masing-masing kelompok tani. Hal ini agar diketahui kemampuan masing-masing kelompok tani baik dari aspek manajemen teknis maupun manajemen administrasi, mencakup kemampuan merencanakan, mengorganisasikan, melaksanakan, mengevaluasi usaha tani, dan mengembangkan kelompok tani itu sendiri. Adapun hasil terhadap pemetaan keragaan kelompok tani, ditindaklanjuti dengan pembagian kelas kemampuan (pemula, lanjut, madya, utama), yang berguna dalam penyusunan strategi pembinaan, pengawalan dan pendampingan, sehingga penyuluhan menjadi tepat sasaran terhadap penggunaan teknologi, maupun tepat dalam memberikan terapi guna memperbaikai, meningkatkan usaha tani lebih produktif, efektif dan efisien.

Pembinaan terhadap kelompok tani ini juga sejalan dengan diterapkannya Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, yang mengamanatkan bahwa setiap penerima manfaat (bantuan) harus lembaga yang mendapat pengesahan atau penetapan dari pimpinan instansi vertikal atau kepala satuan kerja perangkat daerah terkait sesuai dengan kewenangannya. Hal ini tertuang pada pasal 298 ayat 4 dan ayat 5, Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014, dan dipertegas oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2011 Tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial Yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Kebijakan tersebut sejalan dengan Instruksi Presiden Presiden RI pada Pembukaan Rapat Kerja Nasional Pembangunan Pertanian Tahun 2017 tanggal 5 Januari 2017 yang menginginkan efisiensi dan meningkatkan skala ekonomi petani, melalui clustering (klasifikasi) untuk selanjutnya dikorporasikan.

Tujuan dalam melakukan penilaian kelas kemampuan kelompok tani adalah untuk :

  1. Mengetahui keragaan kemampuan kelompoktani;
  2. Menyediakan bahan perumusan kebijakan dan strategi pemberdayaan petani;
  3. Mengetahui metodologi dan pemetaan kebutuhan penyuluhan pada masing-masing kelas kemampuan kelompok tani;
  4. Menyediakan database kelompoktani melalui SIMLUHTAN;
  5. Meningkatkan kinerja Penyuluh Pertanian dalam melakukan pengawalan dan pendampingan kelompok tani.

Sedangkan manfaat penilaian kelas kemampuan kelompok tani antara lain :

  1.  Diperolehnya strategi pembinaan kelompok tani sesuai dengan kelas kemampuannya;
  2.  Diperolehnya materi pembinaan untuk mengembangkan kelompok tani menjadi Gabungan Kelompok tani dan Badan Usaha Milik Petani (BUMP).

Peningkatan kelas Kelompok tani merupakan indikasi bahwa kelompok tani telah mampu memfasilitasi anggotanya dalam meningkatkan produktivitas usaha dan kesejahteraannya. Keberdayaan petani harus dilihat sebagai usaha untuk meningkatkan kemampuan internal petani, sekaligus juga membuka akses dan kesempatan yang lebih baik untuk mendapatkan dukungan sumberdaya produktif, maupun untuk mengembangkan usaha yang lebih mensejahterakan. Adapun strategi yang diperlukan dalam upaya meningkatkan kelas kelompok adalah Peningkatan Pembinaan Kelompok melalui progam pemberdayaan yaitu :

A. Pengembangan Sumberdaya Manusia (SDM);

Diawali dengan upaya peningkatan kesadaran, hal ini berkaitan dengan aspek psikologis dan budaya. Petani harus diyakinkan bahwa mereka memiliki kesempatan dan kemungkinan yang tinggi untuk memiliki pendapatan, dan atau meningkatkan pendapatan dengan mempelajari aspek sumberdaya yang dimiliki, aspek permodalan, pasar dan teknologi, yang pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraannya yang menyangkut aspek ekonomi, rohani, kesehatan, pendidikan hukum dan lain-lain. Pengembangan SDM ini akan menghasilkan kelompok tani yang memiliki kemampuan untuk merencanakan usahanya sesuai dengan potensi sumberdaya yang dimilikinya, mampu memecahkan masalah dan mengetahui teknologi yang dibutuhkannya.

B. Pengembangan modal;

Dimulai dari kesadaran kelompok tani untuk memiliki dana bersama yang dikumpulkan dalam kelompok. Keberlanjutan penggalangan dana ini akan menghasilkan akumulasi dana yang memerlukan satu wadah lembaga keuangan mikro yang dikelola secara kelompok yang akan menumbuhkan sistem ekonomi rakyat yang mampu memfasilitasi aspek permodalan anggotanya. Untuk memenuhi kekurangan dana kelompok tani akan bekerja sama dengan lembaga lain (perbankan) yang bersedia memberikan modal dengan biaya yang rendah. Hal ini akan meningkatkan kemampuan kelompok tani.

C. Pengembangan usaha;

Diawali dengan memanfaatkan kelimpahan Sumberdaya Alam (SDA) yang ada di wilayahnya. Petani/Kelompok tani dapat mengoptimalkan SDA dengan usahatani pertanian maupun peternakan ataupun perikanan, yang diperuntukkan bagi pemenuhan kebutuhan 4 F yaitu Food (pangan), Feed (Pakan), Fuel (Energi), Fertilizer (Pupuk). Pengembangan usaha tersebut dilakukan dengan prinsip pengelolaan terpadu dalam sistem pertanian terpadu, yang mengkombinasikan komponen berbeda (pertanian, peternakan, perikanan) dalam sistem produksi usahatani agar saling melengkapi, melalui teknik, (1) Pengelolaan Tanaman Terpadu, (2) Pengelolaan Hama Terpadu, (3) Pengelolaan Hara Terpadu, (4) Pengelolaan Air Terpadu, (5) Pengelolaan Ternak Terpadu, (6) Pengelolan Limbah Terpadu. Selanjutnya petani-/kelompok tani diarahkan untuk berinisiatif memanfaatkan sumberdaya lokal dengan memanfaatkan teknologi yang ada.

D. Pengembangan Kelembagaan Usaha;

Pada tahap awal keberadaan usaha masing-masing anggota dianggap sebagai unit produksi secara keseluruhan, selanjutnya untuk efisiensi usaha secara perlahan anggota kelompok satu dengan lainnya memulai usaha bersama secara kecil-kecilan seperti pemasaran bersama, pengadaan sarana produksi bersama. Pada gilirannya usaha kecil tersebut akan berkembang menjadi usaha menengah bahkan usaha besar yang memiliki badan hukum yang formal.

Prinsip-prinsip dalam melakukan penilaian kelompok tani yaitu:

a) Sahih (valid), yaitu kemampuan yang akan diukur harus sesuai dengan pelaksanaan fungsi kelompoktani;

b) Objektif, yaitu diukur secara transparan dan dapat dipertanggungjawabkan;

c) Keterandalan (reliable), yaitu siapapun, kapanpun, dimanapun dilakukan penilaian akan memberikan hasil yang sama;

d) Relevan, yaitu penilaian harus terkait dengan fungsi kelompoktani;

e) Efisien, yaitu dapat dilaksanakan dengan tertib dan teratur sesuai waktu yang ditetapkan.

Aspek Penilaian kelas kemampuan kelompok tani dikenal dengan Panca Kemampuan Kelompoktani (PAKEM POKTAN), yaitu: (a) Kemampuan merencanakan; (b) Kemampuan mengorganisasikan; (c) Kemampuan melaksanakan kegiatan, (d) Kemampuan melakukan pengendalian dan pelaporan; (e) Kemampuan mengembangkan kepemimpinan kelompok tani.

Indikator Penilaian kelas kemampuan kelompoktani merupakan rincian kegiatan dalam menjalankan fungsinya dengan rincian sebagai berikut :

a) Aspek kemampuan merencanakan, terdiri dari indikator:

1) Merencanakan kegiatan belajar (nilai maksimum 50);

2) Merencanakan usaha (nilai maksimum 150).

b) Kemampuan mengorganisasikan, yang terdiri dari:

1) Struktur Organisasi (nilai maksimum 25);

2) Aturan dan Norma (nilai maksimum 25);

3) Administrasi pembukuan (nilai maksimum 100).

c) Kemampuan melaksanakan kegiatan yang terdiri dari:

1) Pertemuan rutin (nilai maksimum 40);

2) Kegiatan belajar (nilai maksimum 50);

3) Pelaksanaan usaha (nilai maksimum 200);

4) Pemupukan modal (nilai maksimum 50);

5) Pelayanan informasi dan teknologi (nilai maksimum 60).

d) Kemampuan melakukan pengendalian dan pelaporan, dengan indikator Evaluasi usaha kelompok (nilai maksimum 100)

e) Kemampuan mengembangkan kepemimpinan kelompoktani, dengan indikator pengembangan kapasitas dan pengkaderan pengurus (nilai maksimum 150).

Kelas Kemampuan Kelompok tani ditetapkan berdasarkan hasil penilaian setiap kelompok tani oleh kelembagaan yang menangani penyuluhan pertanian di kabupaten/kota, dengan penetapan kelas sebagai berikut :

a) Kelas Pemula mempunyai nilai sampai dengan 245;

b) Kelas Lanjut mempunyai nilai 246-455;

c) Kelas Madya mempunyai nilai 456-700;

d) Kelas Utama mempunyai nilai 701-1.000.

hasil penilaian diharapkan dapat menjadi bahan masukan dalam penyusunan strategi pemberdayaan kelompok tani berdasarkan kelas kemampuannya.

Oleh : Zuni Fitriyantini, S.TP.

Sumber : BPPSDMP, 2018. Pedoman Penilaian Kelas Kemampuan Kelompok Tani. Kementerian Pertanian.

Selasa, 28 Mei 2024

PEMUPUKAN YANG EFEKTIF UNTUK TANAMAN PADI

                                           

Pupuk merupakan salah satu faktor produksi yang sangat penting dalam budidaya padi. Untuk menghasilkan produksi yang tinggi, pemberian pupuk pada padi bersifat mutlak. Unsur N, P, dan K yang menjadi unsur hara makro untuk pertumbuhan tanaman termasuk padi harus tersedia di lahan pertanian. Oleh karena itu petani perlu melakukan pemupukan secara berkala minimal 2 kali pada satu musim tanam dalam budidaya padi nya.

Pupuk bersubsidi yang biasa digunakan oleh petani untuk memenuhi kebutuhan unsur hara pada budidaya padi saat ini keberadaannya makin sulit diperoleh. Apalagi dengan semakin berkurangnya jatah pupuk bersubsidi setiap tahunnya. Sering terjadi pemberian pupuk telat dilakukan karena pupuk bersubsidi di kios stok nya habis. Padahal waktu pemupukan yang tepat juga sangat mempengaruhi hasil produksi padi. Petani memerlukan solusi tentang pemupukan yang efektif untuk tanaman padi sehingga dapat memperoleh hasil yang optimal.

                   Pemupukan yang efektif dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu :

1.  pH lahan

pH lahan sangat mempengaruhi efektivitas pemupukan karena kadungan unsur hara makro yang sangat dibutuhkan oleh tanaman padi hanya dapat terserap optimal oleh akar tanaman dalam kondisi pH netral. Hal ini kurang diperhatikan oleh petani sehingga mereka sering menggunakan pupuk dalam jumlah yang melebihi kebutuhan.

Penggenangan air yang terus menerus pada lahan sawah merupakan salah satu yang dapat menurunkan pH lahan. Selain itu, pemupukan berlebih juga dapat menurunkan pH lahan karena adanya pelepasan ion H yang terurai dari pupuk yang diberikan petani.

Untuk meningkatkan kadar pH lahan yang cenderung rendah, perlu dilakukan penambahan kapur pertanian. Rumus penggunaan kapur pertanian per Ha lahan yaitu :

Kapur pertanian yg dibutuhkan = (pH yang dituju – pH saat ini) x 2.000 Kg

Pemberian kapur pertanian cukup di sebar di lahan sawah sewaktu olah tanah.

Produk kapur pertanian yang ada di pasaran antara lain Kebo Mas dan Dolomit.

 

2.  Jenis pupuk

Jenis pupuk yang digunakan sangat mempengaruhi efektifivas pemupukan. Pada awal pertumbuhan tanaman padi sangat diperlukan unsur N sehingga pupuk yang paling tepat adalah pupuk dengan kadar N tinggi.

Ada berbagai macam jenis pupuk non subsidi yang ada di pasaran. Beberapa yang mengandung unsur N tinggi dan dapat diberikan untuk awal pertumbuhan ketika masih fase vegetatif antara lain NPK daun, Ultradap, dan KNO merah.

Sedangkan untuk fase generatif tanaman padi membutuhkan unsur P dan K yang lebih banyak.  Beberapa pupuk yang mengandung unsur P dan K antara lain NPK buah, MKP dan KNO putih.

Selain kandungan unsur hara yang ada pada pupuk, perlu juga diperhatikan tingkat kelarutannya di dalam air. Apabila pupuk mudah larut dalam air maka dapat diaplikasi dengan kocor maupun semprot, sedangkan bila kurang larut air lebih efektif menggunakan sistem tabur atau sebar. Misal pupuk yang kurang larut dalam air mau diaplikasikan dengan sistem kocor, disarankan untuk tidak menggunakan sprayer karena endapannya dapat menyumbat nozel. Lebih baik disiramkan ke tanaman.  

3.  Dosis pupuk

Dosis pupuk yang tepat juga sangat mempengaruhi efektifivas pemupukan. Dosis pupuk disesuaikan dengan label kemasan, karena beda merk beda dosis yang di gunakannya. Bila ingin mencampur pupuk dengan merk yang berbeda, pastikan keduanya tidak saling bertolak belakang. Pastikan pupuk tunggal N tidak dicampur dengan K dalam aplikasi agar tidak terjadi pengikatan unsur hara.

Uji kelarutan pencampuran pupuk juga perlu dilakukan untuk memastikan bahwa pupuk yang dicampur tersebut dapat larut dengan baik.

Cara sederhana uji kelarutan pupuk adalah dengan melarutkannya dalam segelas air. Apabila larut sempurna berarti pupuk tersebut dapat di campur. Akan tetapi bila terjadi endapan maka pupuk tersebut tidak dapat di campur dalam pengaplikasiannya. 

4.  Cara aplikasi pupuk

Cara aplikasi pupuk yang dilakukan petani dengan disebar seperti yang biasa dilakukan saat ini sebenarnya sangat tidak efektif karena banyak yang terbuang percuma. Sebagian besar unsur hara yang ada pada pupuk mengalami larut serap dan terikat tanah sehingga hanya sebagian kecil saja yang dapat di serap tanaman.

Cara aplikasi sistem kocor dan semprot diharapkan mampu meningkatkan efektivitas pemupukan. Apalagi dengan penggunaan pupuk yang jumlahnya jauh lebih sedikit dibandingkan dengan sistem sebar tentunya sangat mengurangi biaya produksi bagi petani.

Yang perlu diperhatikan dalam aplikasi pupuk menggunakan sistem kocor adalah jangan sampai terkena tanaman muda karena kemungkinan daun akan gosong. Jadi pada waktu pemupukan pertama, lebih fokus pada tanah sekitar tanaman muda. Untuk sistem semprot dapat digunakan pada waktu tanaman sudah kuat. Pemukukan kedua dapat menggunakan sistem ini. 

5.  Waktu aplikasi pupuk

Waktu aplikasi pupuk dengan sistem kocor harus memperhatikan kondisi cuaca. Usahakan pemupukan dilakukan pada waktu sinar matahari belum terik tapi embun pagi sudah hilang atau sore hari ketika matahari sudah tidak panas. Apabila pemupukan dilakukan pada waktu sinar matahari terik maka akan banyak yang menguap sehingga menurunkan efektivitas pemupukan.Petani sering tidak memperhatikan waktu aplikasi pupuk dengan alasan kesibukan mereka. Padahal waktu aplikasi yang tidak tepat malah membuang waktu, tenaga, dan uang petani.  

Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa pemupukan akan efektif apabila pH tanah telah dalam kondisi normal serta penggunaan pupuk dengan memperhatikan tepat jenis, tepat dosis, tepat aplikasi dan tepat waktu.  Kelima hal tersebut saling berkaitan sehingga tidak ada yang boleh diabaikan apabila menginginkan pemupukan yang efektif. 

Pengetahuan tentang kondisi kandungan unsur hara yang ada pada tanah sebenarnya sangat penting untuk memformulasikan kebutuhan pupuk tanaman. Akan tetapi fasilitasi dari pemerintah untuk pengadaan alat PUTS (Perangkat Uji Tanah Sawah) maupun PUTK (Perangkat Uji Tanah Kering) sudah tidak ada. Saat ini alat pengukur unsur hara tanah banyak di jual secara online. Ini dapat dijadikan salah satu alternatif petani bila ingin mengefektifkan pemupukan. 

Pemberian pupuk organik secara berkala ke lahan sawah juga dapat meningkatkan efektivitas pemupukan tanaman. Pupuk organik meski mengandung unsur hara makro yang sedikit, namun mengandung unsur hara mikro serta dapat meningkatkan aktivitas biota tanah sehingga dapat memperbaiki sifat fisik, kimia maupun biologis tanah.

Oleh : Zuni Fitriyantini, S.TP.

REFERENSI :

1.  https://saprotan-utama.com/product-category/semua-produk/

2.  http://cybex.pertanian.go.id/mobile/artikel/98675/Pupuk-Organik/

3. Fitriyantini, Z. 2019. Materi Sl Padi Budidaya Padi Sistem Pertanian Terpadu. Bahan Ajar. BPP Tersono

Kamis, 25 April 2024

PENGENDALIAN BULAI PADA TANAMAN JAGUNG

                                          

            Jagung sebagai salah satu makanan pokok pengganti beras adalah komoditas strategis di Indonesia. Kebutuhan jagung sebagai pemenuh bahan pangan dan pakan terus meningkat. Apalagi dengan semakin berkembangnya peternakan ayam baik pedaging maupun petelur yang sampai ke pelosok negeri menjadikan jagung sebagai komoditas yang sangat dicari.

Saat ini produksi jagung dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan domestik karena permintaannya semakin meningkat. Dengan berkembang pesatnya industri peternakan, jagung merupakan komponen utama (60%) dalam ransum pakan. Diperkirakan lebih dari 55% kebutuhan jagung dalam negeri digunakan untuk pakan, sedangkan untuk konsumsi pangan hanya sekitar 30%, dan sisanya untuk kebutuhan industri lainnya dan benih. Dengan demikian, peran jagung sebetulnya sudah berubah lebih sebagai bahan baku industri dibanding sebagai bahan pangan.

Upaya peningkatan produksi jagung terkadang mengalami kendala biotik dan abiotik. Kendala abiotik meliputi kekeringan, kekurangan unsur hara, kemarau dan lain sebagainya. Sementara kendala abiotik berupa serangan organisme pengganggu tanaman (OPT). OPT berasal dari 3 golongan yakni patogen, hama, dan gulma. Ketiga OPT tersebut berasosiasi di pertanaman sehingga pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang dibudidayakan menjadi terhambat bahkan beberapa jenis OPT dapat mengakibatkan pertanaman menjadi gagal panen. Kondisi tersebut terjadi saat lingkungan mendukung perkembangan OPT tanaman, sementara varietas tanaman yang di tanaman merupakan varietas rentan. Beberapa spesies OPT baik hama maupun patogen menjadi OPT penting pada suatu jenis tanaman, salah satunya ialah Oomycetes Peronosclerospora spp. penyebab penyakit bulai pada tanaman jagung.

Peronosclerospora spp. menyerang tanaman jagung yang masih muda dengan gejala lokal dan sistemik sehingga terkadang tanaman tidak bisa menghasilkan tongkol (Semangun 1993). Patogen ini menyebar luas di wilayah tropis dan subtropis yang mengembangkan tanaman jagung. Penyakit bulai masih mendominasi penyebab kegagalan panen pada pertanaman jagung. Penyakit bulai yang sudah mewabah akan menyebabkan kehilangan hasil minimal 30 % bahkan tanaman tidak akan menghasilkan sama sekali.

Penyakit bulai menjadi bumerang bagi petani jagung di seluruh wilayah pengembangan jagung nasional. Beberapa daerah di Indonesia telah dilaporkan endemis bulai. Dampaknya selain menyebabkan penurunan produksi, juga menimbulkan trauma bagi masyarakat untuk menanam jagung kembali. Dilaporkan bahwa kehilangan hasil akibat penyakit ini berkisar 50-80% di beberapa wilayah sentra pengembangan jagung seperti Jawa Timur, Sulawesi Selatan dan Kalimantan Barat. Kerugian yang besar tersebut akan tetap terjadi selama kendala pengelolaan penyakit bulai belum teratasi, antara lain keterbatasan teknologi pengendalian yang hanya bertumpu pada penggunaan varietas tahan dan fungisida.

Penyebab penyakit bulai merupakan anggota golongan Oomycetes (Peronosporomycetes), suatu kelompok takson yang relatif kecil dengan perkiraan <1.000 spesies. Karena kemiripan secara morfologi, fisiologi, dan ekologi yang mirip dengan kapang, Oomycetes sering dianggap sebagai jamur, akan tetapi data filo genetik ultra struktural, biokimia, dan molekuler memastikan bahwa mereka tidak berkerabat secara langsung dengan jamur sejati (kingdom fungi), tetapi masuk ke dalam kingdom Chromista.

Penyakit bulai disebabkan oleh oomycetes Peronosclerospora spp. yang penularan sporanya pada tanaman jagung terbawa oleh angin di pagi hari. Sumber inokulum penyakit bulai tergantung pada spesies patogennya. Sumber inokulum dapat berupa oospora yang merupakan spora bertahan saat kondisi musim dingin atau konidia dari tanaman terinfeksi yang ada di sekitar pertanaman baru. Beberapa spesies patogen bulai bersifat tular benih, namun terbatas pada benih yang segar dan memiliki kadar air tinggi.

Pada awal musim tanam, pada kondisi suhu tanah di atas 20°C, oospora dalam tanah berkecambah sebagai respons terhadap eksudat akar dari bibit jagung yang rentan. Tabung kecambah menginfeksi bagian tanaman dibawah permukaan tanah dan menyebabkan gejala sistemik termasuk klorosis dan pertumbuhan tanaman menjadi kerdil. Ketika oospora menginisiasikan infeksi, daun pertama umumnya bebas penyakit, berbeda halnya jika patogen terbawa benih seluruh bagian tanaman akan menunjukkan gejala penyakit. Oospora dilaporkan bertahan hidup di alam hingga 10 tahun.

Penyakit bulai dapat menular dari tanaman sakit sebagai sumber inokulum ke tanaman sehat. Faktor lingkungan dan struktur morfologi daun tanaman jagung merupakan pemicu utama gagalnya konidia berkecambah. Perkecambahan merupakan kondisi yang paling lemah dan peka terhadap perubahan faktor lingkungan. Perubahan lingkungan yang drastis akan menyebabkan kematian tabung kecambah sehingga tidak terjadi infeksi. Selain itu, perkecambahan memerlukan suhu yang sesuai dan kelembaban dalam bentuk lapisan air pada permukaan tanaman atau tanah. Keadaan basah atau bentuk lapisan air ini harus berlangsung cukup lama hingga patogen mampu masuk atau melakukan penetrasi ke dalam sel atau jaringan. Jika hanya berlangsung sebentar maka patogen akan kekeringan dan mati, sehingga gagal melakukan serangan.

Faktor utama yang mendorong percepatan perkembangan penyakit bulai ialah suhu udara yang relatif tinggi yang disertai kelembaban tinggi. Curah hujan yang tinggi dan hujan sering terjadinya pada malam hari dapat meningkatkan kelembaban yang tinggi sehingga perkembangan penyakit bulai juga meningkat.

Penyakit bulai umumnya ditemukan di dataran rendah dan jarang menyerang di daerah dataran tinggi dari 900-1.200m. Infeksi hanya terjadi jika ada air, baik air embun, air hujan atau air guttasi. Di waktu malam dalam corong daun tanaman jagung muda selalu terdapat air guttasi. Suhu lingkungan saat malam hari sampai menjelang pagi dibawah 24°C dan kondisi daun berembun memicu pembentukan sporangia yang tinggi.

Penyebaran penyakit bulai dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya jarak tanaman, angin dan hujan. Meskipun patogen ini berada sistemik dalam biji, tapi jika biji dikeringkan hingga 14%, maka tidak lagi terinfeksi. Oospora dapat disebarkan melalui benih, angin dan air. Oospora dapat bertahan beberapa tahun pada kondisi yang menguntungkan.

Jarak tanaman merupakan masalah praktis di lapangan yang sangat menentukan dalam usaha meningkatkan hasil. Selain itu, semakin dekat jarak tanaman akan mempengaruhi perkembangan penyakit. Hal ini dikarenakan kondisi kelembaban yang tinggi dan rendahnya paparan sinar matahari yang sampai pada tanaman sehingga menguntungkan bagi perkembangan patogen.

Angin diketahui sebagai salah satu penyebar konidia patogen yang dapat menjangkau jarak yang jauh. Penyebaran konidia Peronosclerospora spp. pada musim kemarau sangat baik dikarenakan kecepatan angin lebih tinggi dibandingkan saat musim hujan. Pada bulan kering, kecepatan angin menjadi pemicu utama untuk pembebasan spora. Pemencaran spora didukung oleh tingginya suhu dan sinar matahari dengan intensitas dan waktu yang lama serta menurunnya kelembaban udara.

Pola sebaran penyakit bulai terjadi secara acak. Mekanisme penularan bulai adalah tanaman sakit pada awal musim terjadi infeksi konidia dari luar pertanaman. Selanjutnya penyakit akan berkembang dari hasil penularan konidia tanaman sakit di dalam pertanaman. Puncak penularan terjadi pada minggu ke-4. Besarnya intensitas serangan penyakit bulai sangat ditentukan oleh waktu infeksi. Semakin awal terjadi infeksi, maka akan diikuti dengan intensitas penyakit tinggi. Hal ini terjadi disebabkan oleh sifat penularan bulai mengikuti pola penyakit majemuk. Infeksi primer terjadi melalui penularan konidia yang berasal dari luar pertanaman. Hal ini terjadi pada awal tanam, selanjutnya infeksi primer akan menghasilkan infeksi sekunder selang 1 minggu kemudian. Infeksi sekunder (siklus polisiklik) dapat terjadi antara 2-5 MST.

Melihat pola penyebaran penyakit bulai, maka upaya penundaan infeksi pada awal tanam mempunyai peranan sangat penting dalam menekan intensitas penyakit. Penundaan infeksi sampai 2 MST hanya menyebabkan tingkat kerusakan yang rendah. Upaya pengendalian dengan pengaturan waktu tanam dapat menunda terjadinya epidemi penyakit.

Peronosclerospora spp. menyerang tanaman masih muda, gejala mulai ditemukan saat tanaman berumur 2-3 MST. Penyakit dapat dikenali dengan terbentuknya struktur jamur menyerupai tepung pada permukaan daun. umumnya petani kurang menghiraukan keberadaan tanaman sakit dan dipertahankan hingga dewasa. Hal ini berarti keberadaan sumber inokulum bulai sebenarnya dengan mudah dapat dijumpai di pertanaman jagung, sementara petani juga tidak melakukan tindakan pengendalian penyakit.

Daun yang baru saja membuka pada tanaman terinfeksi bulai mempunyai bercak-bercak klorotis kecil-kecil. Bercak ini akan berkembang menjadi jalur yang sejajar dengan tulang induk berwarna putih sampai kekuningan pada permukaan daun, diikuti oleh garis-garis klorotik. Daun berbentuk kaku, tegak dan menyempit karena adanya benang-benang patogen dalam ruang antar selnya. Ciri lainnya, pada pagi hari di sisi bawah daun terdapat lapisan tepung berwarna putih. Gejala yang ditemukan jika perakaran tanaman jagung dicabut terlihat ada akar menggerombol tidak berkembang sehingga mengganggu proses transfer hara ke daun dan seluruh tanaman sehingga tampak pucat.

Serangan penyakit bulai menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat dan pembentukan tongkol terganggu, bahkan tidak bisa berongkol sama sekali. Tanaman yang terinfeksi sistemik sejak muda di bawah umur 1 bulan biasanya mati. Tanaman jagung mengalami periode kritis saat tanaman berumur antara umur 1 – 5 minggu setelah tanam (MST), apabila selama masa periode kritis tersebut tanaman tidak menimbulkan gejala serangan maka tanaman jagung akan tumbuh normal dan bisa menghasilkan tongkol. Peningkatan suhu dan kelembaban setelah pemberian urea dapat mempercepat perkembangan penyakit ini. Sementara, jika infeksi terjadi pada tanaman yang lebih tua, tanaman akan terus tumbuh dan membentuk tongkol. Tongkol yang terbentuk lebih panjang dengan kelobot yang tidak menutup pada ujungnya dan hanya membentuk sedikit biji.


Berikut ini beberapa tindakan pengendalian yang dapat dilakukan petani guna menekan serangan penyakit bulai di pertanaman diantaranya :

1.  Kultur Teknik

Ø Eradikasi Tanaman

Eradikasi tanaman sakit bertujuan untuk menekan penyebaran penyakit. Apabila ditemukan tanaman yang memperlihatkan gejala penyakit bulai di antara pertanaman jagung maka segera dicabut dan disimpan ditempat yang sama. Tanaman sakit yang disaput diupayakan tidak diangkut terlalu jauh karena adanya peluang spora yang melekat pada daun jatuh pada tanaman sehat yang dilewati. Pencabutan tanaman sakit dan langsung disimpan di lokasi yang sama cukup menekan sumber inokulum penyakit. Konidia dari tanaman sakit yang telah dicabut, jika tersimpan beberapa jam akan mati dikarenakan sifat obligat yang dimiliki oleh patogen bulai.

Ø Pengaturan Waktu Tanam

Tanaman jagung paling rentan terkena bulai pada saat tanaman mulai berkecambah hingga tanaman berumur 5 minggu setelah tanam. Penyakit bulai banyak berkembang pada waktu peralihan musim kemarau ke musim penghujan atau sebaliknya. Oleh karena itu, diupayakan pada saat terjadi peralihan musim, tanaman jagung sudah berumur lebih dari satu bulan.          

Ø Penanaman Serempak

Patogen penyebab bulai hanya dapat bertahan hidup dan berkembang pada tanaman yang hidup. Patogen tersebut tidak dapat hidup di tanah dan tanaman yang mati. Penanaman jagung secara serempak akan menekan serangan patogen penyebab bulai karena fase pertumbuhan tanaman relatif sama.

Periode bebas tanaman jagung hal ini dikhususkan ke daerah-daerah endemik bulai dimana jagung ditanam tidak serempak, sehingga terjadi variasi umur yang menyebabkan keberadaan bulai di lapangan selalu ada, sehingga menjadi sumber inokulum untuk pertanaman jagung berikutnya.

Rotasi tanaman dilakukan dengan tujuan untuk memutus ketersediaan bulai di lapangan dengan menanam tanaman bukan dari golongan serealia.

 

2.  Pengendalian Hayati

Pengendalian hayati dapat dilakukan dengan memanfaatkan mikroba-mikroba yang ada di sekitar kita. Mikroba tersebut dapat diisolasi dari beberapa sumber diantaranya endofit tanaman maupun rhizosfer tanaman. Mikroba endofit merupakan mikroba yang hidup di dalam jaringan tanaman sehat tanpa menyebabkan gejala infeksi atau kerusakan pada tanaman inang. Keuntungan dengan adanya mikroba endofit pada tanaman inang adalah dapat menekan serangan penyakit dan ketahanan sistemik atau terinduksi terhadap infeksi patogen. Ketahanan terinduksi merupakan ketahanan tanaman terhadap infeksi patogen karena tanaman sebelumnya telah terinfeksi oleh mikroorganisme lain, baik dari jenis yang sama maupun dari jenis yang lain.

 

3.  Penggunaan Varietas Tahan

Salah satu strategi pengembangan tanaman jagung pada daerah endemik bulai adalah penggunaan varietas tahan. Langkah awal untuk perakitan varietas jagung tahan bulai adalah melakukan seleksi terhadap galur-galur yang ada untuk mengetahui reaksinya terhadap cekaman bulai. Karakteristik fenotipik dan genotipik tahan cekaman bulai pada galur dan populasi plasma nutfah jagung digunakan sebagai informasi pemulai dalam pembentukan inbrida elit tahan bulai.

Dalam penerapan varietas tahan bulai untuk pengendalian penyakit bulai, pemerintah Indonesia telah membuat aturan, dalam pelepasan varietas jagung harus memiliki sifat ketahanan terhadap penyakit bulai. Hal ini amat penting karena sekalipun telah dilepas, apabila tidak tahan bulai tidak akan tersebar luas karena bisa gagal panen akibat penyakit bulai yang telah tersebar luas di Indonesia.

Beberapa varietas tahan penyakit bulai yaitu varietas yaitu Bima-3, Bima-7, Bima-8, Bima-9, Bima-14 Batara, Bisi-3, Bisi-4, Bisi-5, Bisi-6, Bisi-7, Bisi-8, Bisi-9, Bisi-12, Bisi-13, dan Bisi-15. Varietas lainnya yang diketahui agak tahan terhadap bulai yaitu Bima-1, Bima2 Bantimurung, dan Bima-15 Sayang.

4.  Kimiawi

Komponen pengendalian penyakit bulai yang umum dilakukan selama ini adalah perlakuan benih dengan fungisida saromil atau ridomil yang berbahan aktif metalaksil, karena praktis dan mudah dilakukan, bahkan petani tidak perlu melakukan tindakan apapun, hanya menanam benih jagung yang sudah diberi perlakuan fungisida. Umumnya benih jagung yang diperjualbelikan di pasaran telah diberi perlakuan fungisida metalaksil (benih terselubung dengan fungisida warna merah jambu). Adapun rekomendasi dosis penggunaan metalaksil ialah 2-3 gr/kg benih untuk mengendalikan spesies P. philipinensis, sementara 5 gr/kg benih untuk mengendalikan P. Maydis.

Fungisida sistemik lainnya yang umum digunakan untuk mengendalikan penyakit bulai, yaitu quinone outside inhibitors (QoI, seperti azoksistrobin, famoksadon dan fenamidon), fenilamid (seperti mefenoxam), carboxylic acid amides (misalnya dimetomorf), dan cyanoacetamidoximes (seperti cymoxanil).

Pengendalian penyakit bulai dapat juga dilakukan dengan penyemprotan tanaman terserang dengan menggunakan fungisida sistemik pada umur 10 – 22 hari melalui daun.  Lakukan penyemprotan berulang pada fase riskan tersebut. Hal ini dapat dilakukan melalui frekuensi perlakuan fungisida sistemik sebanyak 2, 3 atau 4, 5 kali sampai tanaman berumur 22 hari.

Penggunaan satu jenis fungisida secara terus menerus dalam jangka waktu yang lama dapat memicu resistensi patogen terhadap fungisida tersebut. Beberapa strategi yang dapat diterapkan antara lain dengan menggabungkan beberapa jenis fungisida yang mempunyai mekanisme kerja yang berbeda menjadi satu, baik sebagai formula maupun tank - mixed . Fungisida campuran tersebut selain memberikan pengendalian penyakit tanaman lebih baik dibandingkan dengan fungisida berbahan aktif tunggal, juga dapat menunda terbentuknya populasi patogen yang resisten terhadap fungisida.


Oleh : Zuni Fitriyantini, S.TP.

 

REFERENSI :

1. Muis, A. dkk. 2018. Penyakit Bulai Pada Tanaman Jagung Dan Upaya Pengendaliannya. Yogyakarta. Deepublish Publisher.

2. Prasetyo, T. dkk. 2013. Jagung : Teknologi Produksi dan Manajemen Usahatani. PISAgro. BPTP Jawa Tengah bekerja sama dengan PT. Syngenta Indonesia. Semarang.

Senin, 25 Maret 2024

PEMBUATAN MIKRO ORGANISME LOKAL DARI LIMBAH RUMAH TANGGA

 


Limbah rumah tangga yang dihasilkan sehari hari ada yang berupa bahan organik, seperti sisa sayur, buah, serta potongan daun dan bunga dari pekarangan. Bahan – bahan tersebut ternyata dapat diolah menjadi Mikro Organisme Lokal (MOL).  

Mikro Organisme Lokal (MOL)merupakan salah satu ramuan jitu yang sering digunakan oleh petani organik di lahan pertaniannya. Sesuai dengan namanya, MOL terdiri atas mikro organisme lokal yang ada di sekitar kita., termasuk limbah rumah tangga. Larutan Mikro Organisme Lokal (MOL) adalah larutan hasil fermentasi yang berbahan dasar dari berbagai sumber daya yang tersedia setempat. Larutan MOL mengandung unsur hara mikro dan makro dan juga mengandung bakteri yang berpotensi merombak bahan organik, perangsang pertumbuhan, dan sebagai agen pengendali hama dan penyakit tanaman, tergantung bahan penyusunnya.  Dengan demikian MOL dapat berfungsi sebagai :

  Dekomposer

  Pupuk hayati

  Pestisida organik terutama sebagai fungisida

  Zat perangsang tumbuh

Keunggulan penggunaan MOL yang paling utama adalah mudah dan murah bahkan tanpa biaya. Dengan memanfaatkan bahan-bahan yang ada di sekitar, petani dapat kreatif membuat MOL dari bahan-bahan seperti buah-buahan busuk (pisang, papaya, mangga dan lain-lain), rebung bambu, pucuk tanaman merambat, tulang ikan, keong, urine sapi, bahkan sampai urin manusia, darah hewan, bangkai hewan, air cucian beras, dan sisa makanan.

Bahan utama dalam membuat MOL terdiri dari 3 jenis / komponen antara lain :

1.   Karbohidrat

Bahan ini dibutuhkan mikroorganisme sebagai sumber energi. Beberapa bahan yang dapat digunakan yaitu : air cucian beras (tajin), nasi bekas, singkong, kentang. Gandum, tetapi yang paling sering digunakan adalah air cucian beras. 

2.  Glukosa

Bahan ini merupakan sumber energi instan untuk mikroorganisme sebelum mengurai karbohidrat. Ia dapat diperoleh dari gula merah, ula pasir, gula batu, air gula, molases, air nira, dan air kelapa.

3. Sumber bakteri

Bahan ini merupakan sumber utama dari mikroorganisme yang akan dikembangkan. Ia dapat diperoleh dari keong mas, buah – buahan busuk, sayuran sisa, bonggol pisang, rebung bambu, urine hewan, nasi basi, tape dan masih banyak lagi.

Cara membuat MOL itu mudah, semua  yang ada di sekitar kita dapat dipakai, semua bahan dicampur dengan larutan yang mengandung glukosa seperti air nira, air gula atau air kelapa. Lalu ditutup dengan kertas, dibiarkan sampai 7 hari. Setelah itu larutan MOL sudah bisa dipakai.

Beberapa resep MOL yang dapat dibuat menggunakan limbah dapur antara lain :

1.   MOL Sayur

Bahan :

-          10 kg limbah sayuran hijauan (sawi, bayam, kol, brokoli, kangkung, caisim dll)

-          Garam 5 % dari berat bahan

-          Air cucian beras 10 liter

-          Gula merah/ gula jawa 2 % dari cairan yang peroleh setelah 3 minggu

Cara membuat :

Bahan sayuran dipotong kecil-kecil / tipis-tipis lalu dimasukkan ke ember/ drum, setiap ketebalan 5 cm ditaburi garam secukupnya. Tambahkan air cucian beras hingga 10 liter. Tutup drum/ ember dengan plastik lalu ikat dengan rafia atau karet. Tuangkan air diatas plastik tersebut agar wadah bisa tertutup rapat. Setelah 3-4 minggu ember/ drum dibuka, dan cairan yang diperoleh diambil (biasanya berwarna kuning kecoklatan atau sesuai bahan sayurnya). Tambahkan gula jawa/ gula merah sebanyak 2 % dari cairan tersebut. Kalau cairannya 20 liter berarti butuh 4 ons gula.

Fungsi :

Dekomposer, pembentukan malai padi

Cara Penggunaan :

Saring dan larutkan 4 liter MOL urine dalam 17 liter air bersih. Aduk rata dan semprotkan pada tanaman. 

2. Mol Limbah Buah-buahan

Bahan :

-   10 Kg  limbah buah-buahan

-   1 Kg gula merah

-   10 liter air kelapa

Cara Membuat :

Buah-buahan dihaluskan dan masukkan drum plastik. Campurkan 10 liter air kelapa. Tambahkan gula merah yang telah dicairkan. Tutup rapat drum plastik. Masukkan slang plastik, sambungkan ke dalam botol yang telah berisi air.

Fungsi :

Dekomposer, penghambat pertumbuhan vegetatif, pemicu pertumbuhan generatif.

Cara Penggunaan :

-    Pengomposan 1 : 5 tambah 1 ons gula merah

-    Penyemprotan tanaman : 400 cc mol : 14 liter air pada akhir pertumbuhan vegetatif, pada tanaman padi umur 55-60 hst

3. Mol Nasi

Bahan :

-   1 piring nasi basi

-   6 sendok makan gula pasir

-   2 liter air

Cara Membuat :

Nasi basi dibuat bulat sebesar bola pimpong. Kemudian disimpan dalam wadah dan ditutup rapat selama 1 minggu. Setelah itu nasi basi akan ditumbuhi jamur atau cendawan. Siapkan air 2 liter, masukkan nasi basi yang berjamur tadi dan tambahkan gula pasir 6 sendok makan. Masukkan larutan tersebut kedalam botol lalu ditutup biarkan selama 4 hari. Kemudian cairan itu disaring dan siap digunakan. MOL sudah dikatakan siap pakai apabila tercium bau masam manis

Fungsi :

Dekomposer, pupuk daun dan pupuk kocor.

Cara Penggunaan :

-          Sebagai dekomposer ;

Campurkan MOL dengan air dengan perbandingan 1 : 5 ( 1 bagian MOL : 5 bagian air). Siramkan pada bahan organik yang akan dibuat kompos,

-          Sebagai pupuk daun ;

Campurkan MOL dengan air dengan perbandingan 200 ml MOL untuk 14 liter air, kemudian semprotkan pada tanaman,

-          Sebagai pupuk kocor ;

Campurkan 300 ml MOL dengan 10 liter air, kemudian kocorkan pada tanaman dengan dosis 250 ml/tanaman. Hati-hati jangan sampai mengenai batang tanaman.

Demikian pembahasan tentang pembuatan mol dari limbah rumah tangga. Semoga bermanfaat.

 

Oleh : Zuni Fitriyantini, S.TP.


REFERENSI :

1.    Redaksi Trubus. 2012. Mikroba, Juru Masak Tanaman Dongkrak Hasil Panen 3 Kali Lipat. Trubus : Jakarta.

2.  Suwarso, D dan G. Nuryatno. 2013. Teknologi Pembuatan MOL dan Probiotik. Disampaikan pada Diklat Pengembangan Pupuk Organik Bagi Penyuluh Pertanian. Badan Diklat Provinsi Jawa Tengah.